Perhatianmu begitu nyata, tapi apakah cintamu juga sama?
"Weh, siapa ini, Ra?" Sosok pemuda bergigi gingsul dan berambut lurus menghampiri Nara dan Khanindra.
"Lupa?" Khanindra tersenyum, memandang pemuda itu dengan seksama.
"Bukan lupa sih, cuma ... Kayak nggak asing," balasnya, mengetuk-ngetuk dagunya mencari jawaban.
"He is Khanindra Maulana Siddiq." Nara mengedipkan sebelah matanya pada Daafi.
"Ya Allah, bule Singapore?" Daafi menepuk pundak Khanindra. Ada gurat rindu di wajah keduanya.
"Sepuluh tahun nggak ketemu, perubahan kamu banyak banget, Kha. Sumpah, aku sampai nggak ngenalin kamu, sorry banget ya."
"Biasa aja, Daaf. Aku tetap Khanindra yang dulu kok." Khanindra melempar senyum tipis. Terlebih saat melihat pada Nara yang terlihat begitu antusias. Ia bingung mencari jawaban. Antusasme gadis ini untuk siapa sebenarnya.
Tiga sahabat kecil, Khanindra, Nara, serta Daafi. Mereka bahkan bersama semenjak masih bayi. Karena kedua orang tua mereka yang juga adalah sahabat dekat. Namun, sayangnya orang tua Nara dan Khanindra sudah tidak lagi lengkap.
Ayah Nara meninggal karena kecelakaan, kala itu usia Nara belum genap satu tahun, sementara ayah Khanindra meninggal karena leukimia di saat usia bocah itu masih 5 tahun.
Hanya orang tua Daafi lah yang masih utuh hingga saat ini. Namun meski begitu, Khanindra dan Nara tak pernah kehilangan sosok seorang ayah, karena ayah Daafi begitu menyayangi mereka selayaknya beliau menyayangi Daafi.
Usia ketiganya hanya terpaut beberapa hari, Daafi lahir lebih dulu. Sementara Khanindra dan Nara bak anak kembar yang terlahir hanya berbeda jam.
"Guys, gimana kalau untuk merayakan kepulangan Khanindra, kita makan malam di tempat biasa dulu orang tua kita ngumpul?" Daafi mengangkat satu alisnya memberi usul.
"Mm, boleh juga. Ajak orang tua nggak nih?" Tanya Nara.
"Enggak lah, kita kan lagi kangen-kangenan dulu sama Tuan Singapore ini. Emangnya kamu nggak kangen sama dia?" Goda Daafi mengedipkan sebelah matanya.
"Bohong banget kalau enggak, apalagi si gendut ini curang tahu, Daaf." Nara memasang raut sinis di buat-buat.
"Aku curang apa, Rara?"
"Ya curang, orang kamu lihat foto aku terus tapi aku yang nggak pernah boleh lihat kamu. Kan curang. Mana dia pasif banget sama ponsel."
"Ya kan aku menuntut ilmu, yang paling penting ... kamu selalu di hati aku."
"Wah, selain berubah tampan dia juga ternyata bisa gombal sekarang." Sindir Daafi seraya terkekeh.
Jangan tanyakan ekspresi Nara. Yang jelas, gadis itu kini pipinya sudah semerah tomat.
"Udah ah, awas aja nanti jatuh cinta."
"Sah-sah aja dong. Kita kan sahabat, udah tahu sifat masing-masing. Jadi, enak kalau beneran ada jodoh." Celetuk Daafi.
Khanindra hanya tersenyum mendengarkan celotehan Daafi yang terus menggoda Nara.
Sahabatnya itu tahu betul jika dirinya menyukai Nara semenjak mereka masih anak-anak.
Daafi adalah pendukung utama perasaannya pada Nara. Hanya saja, sangat di sayangkan. Ibunya melarang ia berpacaran lantaran takut dirinya salah jalan. Dan sekarang, ditambah lagi Nara yang sepertinya begitu exited saat bersama Daafi, membuat Khanindra sedikit ragu. Takut jika hati Nara justru sudah dimiliki sahabatnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA KHANINDRA
RomanceMeninggalkanmu untuk mempersiapkan diri menjadi pantas bagimu bukan perkara mudah. Tapi, akankah semesta berpihak pada cinta terpendamku sementara kau menganggapku hanya seorang SAHABAT. Khanindra Maulana Siddiq Rasanya, ingin sekali meneriakkan kal...