Kamu pikir menunggu itu indah. Tidak! Membosankan. Tapi kenapa aku rela menunggumu
Bukan Surabaya jika tidak macet, kota terbesar di Jawa Timur itu tak pernah sepi dari lalu lalang kendaraan. Cuaca terik, debu beterbangan, serta dedaunan kering yang berserakan di trotoar jalan, klakson-klakson angkutan kota dan bis semakin menambah bisingnya suasana.
"Kamu masih lihat apa, Nara? Mau sampai kapan berdiri di sana, Nak?" Seru ibunya yang tengah berdiri di teras rumah megah milik mereka.
"Sebentar, Ma. Si gendut kok nggak datang-datang ya." Gadis yang dipanggil Nara itu masih asyik berdiri di depan gerbang tinggi rumahnya. Bersedekap, sesekali mengentakkan kaki nya kesal.
Entah sudah keberapa kali ia melirik arloji yang melingkar di tangan mulusnya. Namun, tamu yang dinantinya tak kunjung tiba.
"Kalian sudah lama tidak bertemu, apa kamu masih ingat wajahnya? Dia ke sini sendiri loh, Ra."
"Si gendut itu tidak akan berubah banyak, Mama. Dia tidak akan setampan Daafi." Gadis itu terkekeh geli, mengingat Khanindra, sahabat kecilnya yang dulu ia juluki raja makan.
Posturnya yang gembul, rambut belah tengah, serta hobby nya yang selalu menunduk tiap bertemu dengannya adalah hal paling lucu yang selalu ia ingat selama 10 tahun terakhir semenjak anak itu pergi menempuh pendidikan di luar negeri.
"Sudah, masuk saja. Nanti kalau dia datang pasti klakson."
Nara mendengkus, mengikuti kemauan ibunya untuk memasuki rumah. Entah mengapa hatinya dongkol.
Ponselnya berdering, menampilkan nama sahabatnya di layar benda pipih itu. Naysila.
"Iya, Nay. Ada apa?"
"Keluar yuk. Bosan di rumah."
Sahutan suara cempreng di seberang sana membuat ia menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Enggak ah, aku masih nunggu Khanindra."
"Ya ampun, nunggu calon imam kamu itu."
Gelak Naysila mengundang kesal di hatinya.
"Enak aja, dia itu sahabat aku dari kecil. Nggak mungkin juga lah aku suka sama si gendut."
"Jangan lupa, waktu 10 tahun bisa merubah semuanya loh, Ra."
"Iya tahu, tapi nggak mungkin merubah kebiasaan makannya yang super duper doyan itu."
"Udah deh, berisik. Aku jemput sekarang."
Naysila, sahabatnya mematikan sepihak sambungan telepon mereka setelah memaksa hendak mengajaknya keluar.
Sepintas, ia berpikir. Sudah sejak pagi ia menunggu kedatangan sahabat kecilnya yang dikabarkan hendak datang setelah 10 tahun menuntut ilmu di negeri orang itu. Ikut sang Tante di Singapore tepatnya.
Nara mematut dirinya saat lewat di depan cermin ketika berjalan hendak menuju kamarnya.
"Kha, dulu aja kamu selalu menunduk kalau melihatku. Apalagi sekarang dengan dandanan aku yang kayak gini."
Pandangannya tertuju pada bajunya yang minim bahan. Celana sejengkal paha serta kaos oblong kebesaran yang selalu menjadi outfit andalannya ketika di rumah.
"Nara, Nay barusan telepon Mama, dia minta izin mau ajak kamu keluar makan siang."
"Cerewet banget ya anak itu, tadi udah telepon Nara, Mama. Ngapain telepon Mama lagi, aishh."
"Ya sudah, kamu ganti baju saja. Dia sudah on the way ke sini loh."
"Terus kalau Khanindra datang gimana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA KHANINDRA
RomansaMeninggalkanmu untuk mempersiapkan diri menjadi pantas bagimu bukan perkara mudah. Tapi, akankah semesta berpihak pada cinta terpendamku sementara kau menganggapku hanya seorang SAHABAT. Khanindra Maulana Siddiq Rasanya, ingin sekali meneriakkan kal...