Chapter 1 - Ani

29 2 2
                                    

Aku masih ingat semuanya, kali pertama masuk ke ruangan asing itu. Rasanya gugup sekali karena akhirnya aku siap keluar dari cangkangku lagi. Ibuku bilang, kalau sudah mendekati masa kelulusan sudah sepantasnya anak sekolahan didaftarkan ke tempat bimbingan belajar, tapi aku tidak pernah yakin dengan itu. Karena bagaimanapun juga, waktu bermainku akan terpotong dan jadwal main dengan teman-teman akan berkurang karena harus pergi ke tempat les. Waktu itu rasanya seperti dihanyutkan ke dalam peti kecil di aliran sungai bebas, mungkin begitu sedikit cerita yang dialami ibunda Nabi Musa saat beliau menghanyutkan putranya yang baru lahir ke Sungai Nil.

"Bagaimana, ya, perasaan ibu Nabi Musa saat itu?"

Dulu, aku suka sekali menerka-nerka hal yang tidak masuk akal meskipun sudah tertulis di dalam sejarah, baik itu buku sejarah yang dibuat-buat, yang ditulis langsung oleh saksi matanya, ataupun yang memang tertulis abadi di kitab suci. Maksudku, tidak segala hal di dunia ini seperti apa yang ditulis di atas kertas, bukan? Siapapun bisa mengubahnya jika punya kuasa, jadi ku rasa, tidak ada yang benar-benar nyata di dunia ini. Bisa jadi, ada kenyataan yang ingin seseorang paksakan agar kita semua percaya bahwa si penjahat adalah pahlawannya.

Jika ku katakan ini semua pada ibuku, ia pasti marah dan meledak-ledak tidak terarah. Tipe orangtua yang semua orang juga punya, sebelum mendengar alasan di balik tingkah laku atau perkataan anak-anak mereka, mereka harus terlebih dahulu marah, menghakimi, dan memandang segalanya hanya dari kacamata yang mereka punya, hanya sisi itu saja. Tidak heran jika banyak anak-anak seperti aku yang kesulitan menerima segala macam hal dalam satu waktu. Ada ratusan pertanyaan di dalam kepalaku, tapi tidak pernah bisa ku temukan jawabannya. Kenapa? Jelas, karena aku belum menemukan seseorang yang mampu menjawab semua kegilaan yang selalu membuatku sakit kepala.

"Apa mungkin, ya, ada orang lain di luar sana yang sama seperti aku?"

Saat masih duduk di bangku kelas 6 SD, ibuku juga memaksaku untuk masuk ke kelas Bahasa Inggris. Ia bilang, "Bahasa Inggris itu penting, bisa bawa kamu ke manapun yang kamu mau. Sudah sana berangkat les, nanti diantar ayah."

Waktu itu masih pukul empat sore, baru saja aku bangun dari tidur siang paling nyaman di seluruh 12 tahun hidupku. Seperti ditiup ke dalam balon air raksasa, aku tidak mengerti apa yang terjadi. Seketika itu juga aku sudah rapi dan ayah membawaku ke tempat les yang sudah disebut sebelumnya, semenit kemudian ayah pergi dan meninggalkan aku dengan guru baru yang namanya sudah ku lupa. Ia tipe perempuan tambun paruh baya yang kelihatan cerdas, namun entah kenapa, aku takut dibuatnya. Seperti ia siap melahapku kapan saja, bukan berarti ia galak, tapi seperti ada aura jahat di sekelilingnya. Ini memang terdengar kasar, tapi maksudku, jika ia dibuat versi kartunnya, pasti lucu dan menarik untuk ditonton. Bukan tipe wanita yang membuatmu bergidik ngeri setiap saat, tetapi ia bisa disebut seperti salah satu ibu peri yang melindung Aurora dari Maleficent. Yang perawakannya paling tambun tentunya.

Sedikit banyaknya, aku bisa belajar dari pengalamanku saat itu. Aku pernah melewatinya di usia 12 tahun, jadi apa bedanya dengan apa yang akan ku alami di usiaku yang ke 15 tahun? Benar, kan? Aku lebih besar saat itu, tiga tahun lebih dewasa daripada saat belajar Bahasa Inggris dengan beliau yang menyebutku anak pintar. Di usiaku saat itu, disebut pintar terasa sangat menyenangkan, apalagi disebut pintar oleh orang yang baru saja kau kenal. Itu artinya, aku memang pintar, bukan jenis pintar yang dibuat-buat dengan pernak-pernik gratifikasi yang biasa kita dengar belakangan ini. Namun, waktu itu aku tidak paham sama sekali bahwa jenis pintar itu ada banyak macamnya. Karena dari tempat asalku, pintar itu hanya satu, saat kamu berhasil meraih peringkat pertama di kelasmu atau bahkan di sekolahmu, kamu adalah siswa terpintar, nomor satu.

Untuk anak seperti aku, pintar saja sudah jadi nilai plus karena di lain sisi, selain pintar, kamu juga harus cantik agar bisa menonjol daripada yang lain. Di antara 40 siswa dalam satu loka, siapapun pasti tidak akan mengenalimu jika kamu biasa-biasa saja. Mereka yang terlahir cantik ke dunia, sudah dapat satu tiket untuk bisa hidup lewat jalur fast track. Ada lagi mereka yang terlahir dari keluarga kaya raya, golden spoon namanya, mereka-mereka inilah yang bisa melompat dari satu anak tangga langsung menuju ke anak tangga kesepuluh. Di antara keduanya, ada banyak kita semua. Ya, kita semua; mulai dari yang wajahnya biasa-biasa saja, keluarga ekonomi menengah ke bawah, tidak pintar tapi tidak bodoh juga, anak-anak yang suka berlakon jadi orang lain agar bisa diterima, ada juga banci-banci kelas jadi pengerat kehangatan di antara kita semua.

NILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang