Hari ini lebih terik dari biasanya, suhu panasnya mungkin bisa bersaing dengan termostat di dalam oven kue milik ibu. Sebelum berangkat les, mama memintaku untuk mengantar sesuatu ke rumah ibu. Aku tidak mau ambil pusing soal barang apa yang ada di dalamnya, tubuhku sangat lelah setelah latihan paskibra terakhir hari ini.
Karena kami sudah kelas 3 SMP, pihak sekolah membuat peraturan agar semua anak kelas 9 tidak mengikuti satu kegiatan apapun di sekolah. Untuk pertama kalinya, kupikir peraturan seperti ini patut diapresiasi. Aku semakin malas berkegiatan apapun di sekolah semenjak kejadian hari itu. Permasalahanku selalu berputar di antara persaingan kepintaran, kecantikan, dan andil kekuasaan dari orangtua yang kaya raya. Maksudku, tidak peduli seberapa keras kau berjuang dan ingin menjadi yang terbaik, selalu ada yang lebih daripada dirimu sendiri. Dan aku tidak mengerti hal-hal semacam itu saat itu, selalu ada langit di atas langit.
Kau tidak akan penah mengerti konsep dasar seperti itu ketika dibesarkan di rumah yang tidak ramah dengan "menjadi manusia". Ibuku membesarkanku dengan cara yang sangat otoriter, tidak heran jika ikut paskibra di sekolah bukan sesuatu yang baru bagiku. Semi militer apanya? Kalian harus bertemu ibuku. Aku termasuk salah satu anggota Satlap (Satuan Lapangan) di paskibra sekolah, yang artinya setiap ada kegiatan latihan baris-berbaris di lapangan, kami berempatlah yang bertanggungjawab mengemban tugas tersebut. Cerita ini sudah terlalu lama, aku hanya mengingat Amalia sebagai salah satu rekanku di Satlap Paskibra Sekolah.
Dengan ban lengan berwarna kuning, semua orang pasti tahu kalau kami adalah satuan penting untuk meningkatkan formasi baris-berbaris di paskibra sekolah ini. Namun sangat disayangkan, hal itu tidak sejalan dengan tugas yang kami emban. Bagiku, saat itu, pelatih kami tidak berlaku adil pada anak yang biasa-biasa saja alias jelek. Mungkin beberapa anak sepertiku tidak begitu menonjol di lapangan, pikirku, tapi bukan karena kami tidak cakap dalam baris-berbaris melainkan tidak cakap secara penampilan alias unattractive.
Krisis kepercayaan diriku semakin memburuk setelah melihat cara pelatih kami bersikap tidak adil pada anak-anak jelek seperti aku. Kulitku super gelap, barisan gigiku tidak serapih barisan kami saat perayaan kemerdekaan Indonesia di sekolah, dan karena mama memberikan susu dengan formula paling baik, aku tumbuh menjadi anak dengan kepintaran dan pertumbuhan tinggi badan di atas rata-rata anak seusiaku. Yup, itu adalah hal yang baik, tapi tidak berlaku saat masuk usia pubertas, pertumbuhan hormonku tidak stabil seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya. Jerawat menjadi bagian dari kulitku sendiri, kalian bisa bilang, "memang iya." Bukan itu maksudku, setiap kali hormonku mulai bergejolak tidak menentu, benda menyebalkan itu akan tumbuh hampir di seluruh wilayah kekuasaanku, menjamur dengan ngeri hingga membuatku selalu ingin kabur saat melihat kaca.
Jerawat hormonal sudah menjadi bagian dari hidupku selama bertahun-tahun terhitung dari hari menasku saat masuk kelas 6 SD. Semua orang berkata jerawat is a part of our lives. Bagiku, itu seperti kutukan dan harus kutanggung sendirian dalam kegelapan kepercayaan diri yang semakin teraniaya. Ejekan, olokan, kata-kata kebencian, cemoohan, dikucilkan, didorong hingga jatuh membuat diriku semakin membenci arti kata kepintaran. Tidak ada gunanya menjadi yang paling pintar kalau harus menanggung malu setiap hari. Anak-anak cantik dengan kulit yang cerah, mulus, bibir manis seperti kulit plum, dan tak nampak bintik-bintik di wajahnya selalu punya jalan mulus menuju apapun yang mereka mau. Perhatian akan selalu menjadi milik mereka yang diberi kecantikan lebih oleh tuhan dan itu selalu membuatku marah.
Tidak adil bagiku jika ada orang lain yang berusaha lebih keras daripada kebanyakan orang dan hanya menerima imbalan yang jauh lebih sedikit daripada usaha mereka. Cara pelatih kami berbicara dengan anak yang cantik selalu berbeda ketika berbicara dengan anak sepertiku. Guru-guru laki-lakipun sama, dan untuk beberapa waktu yang cukup lama, aku sangat membenci laki-laki. Mereka hanya segerombolan makhluk dengan mata penuh napsu akan hal-hal yang cantik saja, keadaan fisik jauh lebih penting ketimbang apa yang ada di dalam. Aku tidak menyukai dunia yang seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
NILA
No FicciónJika aku diperbolehkan mengulang hidupku kembali, maka aku tidak akan pernah ingin melakukannya lagi.