Chapter 2 - Frekuensi

18 1 0
                                    

Tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi di sini. Teman pertama sekaligus yang paling menyenangkan selalu duduk di samping ku, kami semua ada di sini, di ruangan kecil tapi unik di bawah tangga. Selalu mengingatkanku kamar tidur Harry Potter di Inggris. Menjelajah waktu yang datang di hari ini sambil mengingat scene Harry dikurung di kamar sempit itu, sedikit membuat ku kena serangan claustrophobia. Agak dramatis memang, tapi siapa yang sangka kalau ruang belajar ini mampu menampung hingga enam siswa, di antaranya ada aku dan Rena.

Anak perempuan berkacamata ini adalah teman pertamaku di sini. Ia selalu mengusiliku dengan semua guyonan dewasanya. Coba pikir, bagaimana bisa anak berusia 15 tahun tahu betul pasal reproduksi hingga ke urusan ranjang? Mengingatnya saja bisa membuatku senyum-senyum sendiri. Cheerful, easy going, percaya diri, sedikit tidak tahu malu, dan sangat kreatif. Siapa sangka takdir mempertemukan kami berdua dan menjadikan hari-hari belajar yang membosankan menjadi taman bermain untuk setiap anak yang ingin kabur dari realita. Sekolah tidak semenyenangkan itu, kan? 

Untuk waktu yang cukup lama, Rena selalu ada di sana, menjadi teman baikku, bintang acara lawak di ruangan kuning kami di lantai satu. Dia juga yang mengenalkanku kalau kak Ani itu baik dan asik diajak bercanda. Ada banyak lawakan-lawakan kecilnya yang membuatku tersenyum miris hingga pecah tertawa.

"Kak Ani gendut, hari ini udah makan belum? Gak usah diet, gakpapa kok, klo gendut, kan, enak dipeluk-peluk." Ejekan itu selalu jadi senjata utamanya, body shaming, mungkin saat itu masih lumrah bagi dunia kecil kami yang sangat sederhana. Karena tidak semua orang jadi begitu sensitif tanpa tahu konteks yang sedang dibicarakan saat itu. Hari-hari belajar kami sangat mudah dan praktis. Kami hanya mengikuti arahan dari guru-guru hebat, tertawa selebar-lebarnya dengan guru jaga, dan pergi jajan ke manapun yang kami suka.

Bila sudah bosan belajar, kami akan kegirangan mencari-cari alasan, ya ngantuklah, pegal, pusing, kepala ngebul, atau berbagai alasan lainnya yang bisa membantu kami semua lolos dari tatapan elang Ujian Akhir Nasional. Kendati bersiap-siap menuju ujian yang semakin dekat, aku lebih suka mencoret-coret buku panduan soal-soalku dengan tulisan-tulisan alay masa itu, seperti Mr. Chocolate loves me atau Muhammad Gunadi aka Kai EXO atau Mr. Chocolate dengan tambahan hiasan bentuk cinta di mana-mana. Ini dia cinta monyetku, cinta-cintaan palsu yang sebenarnya tidak nyata. Semuanya hanya untuk menyenangkan diri sendiri agar bisa keluar dari kenyataan kalau nilai try out sesi pertamaku tidak sama sekali memuaskan.

Dan yang paling tidak menyenangkan lagi ialah semua nilai-nilai itu akan dipajang di papan pengumuman menuju lantai dua. Di mana semua orang pasti akan melihatnya jika akan masuk sesi belajar di kelas. Sebenarnya peringkatku di kelas eksekutif kami tidak terlalu buruk. Aku selalu ada di jajaran kedua atau ketiga, tapi itu tidak juga membuatku senang dan puas dengan pencapaian diriku sendiri. Aku terbiasa menjadi yang nomor satu di manapun aku berada, hal itu membuatku marah tanpa alasan. 

Hal terbodoh yang pernah ku lakukan! Bukannya semakin giat belajar, aku malah tidak menyukai si anak dengan nilai paling tinggi di kelas kami, namanya Ari. Aku heran kenapa semua orang menyukainya? Dia sangat kaku seperti robot, lawakannya lebih renyah daripada pisang goreng di era krisis 98, dan dia hanya mau berbicara dengan kak Ani. Dia pikir dia siapa?

Kecemburuan itu memang beda tipis dengan ketololan, kadang, tetapi bentuk tidak suka pada sesuatu itu bercermin langsung pada ketidakmampuan diri mengalahkan kekurangan yang ada. Contohnya saja aku, bukannya memperbaiki kesalahan yang lalu dan semakin giat belajar, aku malah lebih sering bermalas-malasan dan mencari-cari alasan. Untungnya, semua itu tidak berlaku lama karena kepala cabang kami adalah seorang guru Fisika yang bisa apa saja.

Kalau guru Matematika kami sedang berhalangan hadir, ia akan sigap menggantikannya. Kak Ani seperti ahli hitung di era yang tidak diketahui. Ia nyata berdiri di sana, namun terkadang keberadaannya seperti ruang hampa. Tidak terlihat tapi jelas ada di luar angkasa raya, bertebaran di seluruh penjuru antariksa tanpa ada yang memedulikannya. Kenapa? Karena ia hanya ruang hampa, penopang kita semua berdiri di antara miliaran partikel kecil yang tergabung menjadi satu bola raksasa, planet namanya. Andai surga dan neraka tidak pernah disebut di dalam kitab suci, mungkin aku termasuk orang-orang yang tidak percaya dengan keberadaan ratusan galaksi di luar sana.

NILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang