Jatah Konsekuensi

4 0 0
                                    

Tidak ada yang sama lagi setelah kejadian itu. Tepatnya pada anggota kelompok Theo yang sering sekali mendapatkan ucapan yang kurang baik. Mulai dari nyaris seluruh dari mereka yang bisa menjadi tersangka selanjutnya. Lucy yang langkahnya selalu berat ketika hendak ke sekolah, kini ia kembali diserang rasa tertekan.

Apalagi, kasus Mr. Edgar yang mulai merambat ke berbagai hal yang mampu membuka ruang persidangan lain. Lucy sering mengunjungi pria itu hanya sekedar memberikan beberapa info yang dia dapatkan. Mulai dari kasus Serena yang Lucy selidiki bersama dengan Kakak Sepupu Ian, Radeva Shankara. Kasus Ian yang masih berurusan dengan Jaksa Afkar. Dan Anggota Dewan.

Hari-hari berat itu, tidak terasa sudah berlanjut hingga dua minggu lamanya. Akan tetapi, hari ini mengalahkan semua itu. Di tengah malam Lucy melihat berita Gavin menyebar. Tentang laki-laki itu yang sudah memiliki istri dan seorang anak yang masih berusia lima bulan.

Lucy datang pagi-pagi untuk memastikan siapa yang ada di ruang informasi sekolahnya. Karena semua sosial media online hanya bagian informasi yang memiliki wewenang. Sambil berlari, Lucy tidak sadar jika dia sudah menangis.

Dia kembali mengingat hari pertama persidangan Mr. Edgar, Lucy menyempatkan kembali datang pada Gavin untuk membujuk lelaki itu kembali.

Kala itu …

Lucy mengetuk pelan rumah Gavin. Selama bersekolah di Ukiyo, Lucy tidak terkejut lagi dengan rumah-rumah besar yang berdiri dengan gagah. Bahkan mampu membuat kepercayaan dirinya menciut, saking gagahnya. Hanya saja, kali ini perasaan berubah. Rumah Gavin tampak sepi. Bahkan, Lucy sempat berasumsi jika rumah itu sudah dijual. Tapi, Lucy mencoba untuk memastikannya terlebih dahulu.

Ketukan pertama, tidak ada respon. Ketukan kedua, dia tidak lagi mendapatkan respon. Hingga ketukan ketiga, Lucy sama sekali tidak mendapatkan jawaban.

Baru saja Lucy hendak berbalik untuk pulang, tiba-tiba sebuah suara perempuan dari arah belakangnya membuat Lucy menghentikan langkahnya. “Tolong jangan paksa Gavin. Tolong. Kalian engga bisa taruhin orang lain demi orang lain.”

Lucy berbalik. Dan dia melihat seseorang yang menatapnya dengan tatapan dalam. Matanya tampak sendu, tapi menyimpan banyak makna. Lucy simpulkan, jika tatapan itu adalah puncak kemarahan perempuan yang masih tidak Lucy ketahui siapa. “Kamu …”

“Iya. Aku istri Gavin,” jawab perempuan itu dengan nada penuh penekanan yang membuat alis Lucy naik saat melihat respon itu.

Lucy menghela napas dan mencoba mengendalikan emosinya. Hari ini Lucy belajar jika memahami seseorang bukan berarti dia harus memakluminya. “Oke, aku tahu kalian pasti berat sama skandal Gavin. Tapi kalian sadar gak, sih? Andai aja dia udah ngomong dari awal dan engga sembunyiin ini. Apa masalahnya segede ini? Engga. Dan aku juga engga akan tahu beside dia di luar sekolah. Because I know, Gavin good at keeping what he has.

Perempuan itu terdiam sejenak. Walau wajah Lucy tampak santai, tapi ucapan Lucy sukses sampai ke benaknya. “Kalau kamu bilang mempertaruhkan Gavin. Bukannya harusnya aku yang ngomong gitu? Guru aku, guru dia, guru kami. Lagi butuh kesaksian Gavin. Paling engga bisa diringanin. Kita cuma minta itu, kok untuk tanggung jawab dari diri Gavin sendiri  yang udah ngambil laptop gurunya tanpa izin. Bagaimana pun, Gavin yang bawa diri dia sendiri ke dalam lobang  ini.”

“Dan kamu, engga bisa memihak satu sisi aja. Kamu pikir keadaan guru kami enak? Dianggap pembunuh enak? Bilang ke Gavin, usaha dia yang begini itu sia-sia. Semua ada bayarannya, kan? Seharusnya kalian ngerti karena kalian punya material itu cukup banyak ketimbang aku. Salam buat Gavin. Bilangin, Lucy tetep tunggu dia.”

Pada hari itu, Lucy melampiaskan semuanya. Jujur saja, dia melakukan itu atas dorongan rasa marah yang ia tahan karena perilaku Khai di sekolah tadi. Hari itu, Lucy benar-benar pergi tanpa melihat wajah Gavin.

Dan tidak ia sangka, hari sia-sia yang sudah Gavin pupuk, sudah menjatuhkan buahnya. Lucy awalnya ingin turun setelah tidak menemukan apa-apa di ruang informasi, tapi dari tangga ia menemukan Gavin yang sudah ditodong oleh beberapa siswa di lantai dasar. Ternyata hari ini banyak orang yang berniat sama untuk datang di pagi hari. Hanya saja, dengan banyak niat yang berbeda.

Mencemooh Gavin mejadi alasan terbanyak pagi ini.

Lucy tidak mau ikut campur untuk sementara waktu. Dia ingin Gavin juga merayakan hari yang sudah ia pupuk lama. Sayang jika dia tidak menikmati buahnya.

“Bisa, ya kelas A nampung manusia kotor kayak lo?” Lucy bisa melihat Sarah yang menatap marah ke arah Gavin. Lucy tahu, dulu Sarah sekelas dengan mereka. Akan tetapi karena perceraian orang tuanya yang membuat Sarah mogok sekolah, dia dipindahkan tanpa dispensasi. Padahal saat itu, dia sedang dalam perawatan psikolog.

Sudah lama Sarah menelan emosi itu, dan sudah diyakini akan jadi yang paling marah dengan kasus ini.

“Sarah –“

“Apa?! Mau bela diri lo? Gak guna! Basi! Harusnya elo yang dibuang. BUKAN GUE!” Lucy bisa melihat jika Sarah memang benar-benar  datang sepagi ini hanya untuk hal itu. Suaranya yang menggema tidak bisa ditahan oleh bangunan mewah ini.

“Udah nyuri laptop guru, engga tanggung jawab! Bobol anak orang aja, bisa lo!”

“SARAH!” Gavin berteriak. Ucapan Sarah sudah tidak bisa ia toleransi lagi.

“Apa? Mau mukul gue? Silahkan! Biar makin hina lo!” Sarah tersenyum remeh ke arah Gavin yang wajahnya tampak memerah.

“Ini baru awal, Gavin. And you should to know, sekolah seelit ini engga akan sudi nampung lo. Apa lagi yang mau lo banggain, hah? Lo cuma dipandang sampah!”

“Udah?” Kini mereka berdua terfokus pada seseorang yang berjalan dari arah belakang Gavin. Itu Lucy. Dia datang dengan tangan yang terlipat di atas dada dan menatap Sarah tegas.

“Dengan sikap lo yang begini, lo juga menunjukkan kalo kelas A juga engga pantes buat lo.Sama kayak dia,” ucap Lucy yang menunjuk ke arah Gavin di sampingnya tanpa menoleh. Matanya terus terfokus pada Sarah seolah gadis di hadapannya itu sebentar lagi jadi santapannya.

“Gimana juga, lo gak diomongin anak A itu karena nih cowok goblok,” kata Lucy kembali yang enggan memanggil Gavin dengan namanya.

“Mending lo ke kelas. Gue rasa lo dari semalem engga bisa tidur karena mau ludahin nih orang. Mending tidur deh sono. Lo engga perlu marah sampe ngeluarin diri lo yang asli begitu. Yang rugi lo.”

“Dan satu lagi, lo gak perlu menghina orang lain karena apa yang dia sembunyikan. Sedangkan sejauh ini lo pasti punya hal yang lo sembunyiin, kan? Kayak mabok tiap malem, contohnya.” Tidak seperti biasanya, Lucy yang sering bertingkah aneh dan berisik itu entah ke mana. Saat ini yang mereka hadapi adalah Lucy yang berbeda. Yang tidak mereka ketahui adalah, Lucy sedang marah.

Jangan pernah remehkan marahnya seorang yang banyak bercanda.

“Lo tenang aja, Sarah. Dia bakal dapet jatah konsekuensi juga kok. Tenang aja,” ucap Lucy yang kini menatap Gavin dengan tatapan tidak bersahabat.

“Gimana, Vin? Omongan gue ke istri lo itu, dikasih tau gak ke lo? Orang gila ini salah?”

Lucy tersenyum masam dengan tatapan yang masih sama mematikannya. “Manusia emang dikutuk untuk bebas. Dan lo hasil dari kutukan itu. Selamat ya, ini kan yang lo mau? Bener juga kata Khai. Yaudah, deh. Gue mau sungkem dulu sama Khai.”

Lucy pergi begitu saja dengan perasaan masih tidak percaya jika yang baru saja di hadapan mereka adalah seorang Lucy Madeline.

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang