Tidak pernah Lucy bayangkan jika dia harus duduk seorang diri di bangku terdepan. Biasanya, samping kanan kirinya ada teman sekelompoknya yang sudah langganan dilabel menjadi yang terbaik.
Sekarang tidak. Dia seorang diri. Yang paling menyedihkannya adalah jika hari ini adalah hari kelulusannya. Dia tidak terlalu bersedih, tidak pula terlalu bahagia. Tapi ia bersyukur bisa ada di sini.
Seluruh temannya sudah menjalani kehidupan yang tidak pernah ada dalam bayangan sebelumnya. Begitu juga dengan Lucy. Bisa lulus menjadi murid terbaik padahal hanya bergantung pada beasiswa dan orang dari kalangan kecil, tidak pernah ada dalam bayangan sebelumnya.
Kejutan dari Tuhan memang tidak pernah bisa ditebak. Dan yang bisa dilakukan hanyalah menjalani.
Sekarang, Serena sudah tenang. Mungkin di surga sana dia sedang menahan gemas karena ingin mendadani wajah Lucy. Itu impianny. Karena Lucy paling tidak suka menggunakan riasan. Tapi, untuk Serena hari ini Lucy tampil dengan cantik menggunakan riasan dibantu oleh tunangan Radeva. Ya, hidup memang harus terus berjalan, bukan?
Ian saat ini sudah melanjutkan sekolahnya di Berlin, Khai yang mendadak hilang, dan begitu juga Ian. Sedangkan Gavin, dia masih aktif belajar sembari berusaha menjadi ayah yang hebat untuk anaknya. Tidak ada yang percaya ini akan terjadi.
"Lucy, lo ke sini bawa orang tua?" tanya seorang panitia yang pertanggung jawab untuk acar kelulusan.
Lucy yang sedang fokus dengan ponselnya, melihat kebersamaan mereka dahulu yang hanya jadi memori saja, terpecah etensinya. Lucy menoleh ke arah seorang lelaki yang baru saja menanyakannya. "Dateng, kok. Tapi kayaknya bentar lagi."
"Berapa orang?"
"Empat." Ya, hari ini bundanya, Luna dan kedua adik kembarnya ikut merayakan kelulusan Lucy.
"Oke, bangku keluarga lo di sana, ya. Biar lo nya engga nyari-nyari lagi nanti." Tidak ia sangka jika bundanya nanti akan duduk setara dengan mereka. Bahkan tempat duduknya jauh lebih istimewa, karena mengingat jika Lucy tahun ini menjadi penerima penghargaan murid terbaik seangkatannya. Lucy sangat terharu karena bagaimana pun, mereka hanyalah orang biasa. Tapi dia bisa membuktikan jika orang biasa, tetap bisa menjadi luar biasa.
Lucy mengangguk dua kali. Baru saja ingin mengatakan terima kasih, seseorang lagi datang ke arahnya.
"Jes! Lo lagi ngitung bangku buat keluarga si Lucy, ya?"
"Iya."
"Tambahin satu, ya." Mendengar pembicaraan mereka, Lucy menyerengit. Siapa lagi yang datang?
"Yang mau dateng siapa, ya?" tanya Lucy.
"Lupa gue namanya. Yaudah, ya kita duluan." Lucy hanya bisa mengangguk saat mengingat seseorang yang tidak jauh-jauh dari keluarganya. Ya, dia adalah Lingga Maheswara. Kabarnya pria itu sudah terang-terangan ingi mengejar kakaknya lagi.
***
Lucy sedang menatap semua orang yang hadir. Sekaligus teman-temannya yang juga ternyata begitu banyak. Dan dia menjadi perwakilan sebagai murid terbaik, beridiri di atas untuk menyampaikan beberapa kata sebagai perwakilan satu angkatan.
"Saya tidak pernah membayangkan jika bisa berada di sini. Tapi saya, percaya saya bisa. Karena saya berusaha dengan begitu keras. Dan saya percaya dengan hasil kerja keras saya. Mungkin, dengan adanya seorang yang berasal dari keluarga sederhana, yang berhasil masuk ke sekolah berngengsi yang luar biasa, itu kedengaran begitu tipis kemungkinannya untuk bertahan."
"Tapi, Lucy Madeline berhasil berdiri di sini. Saya berharap, semua orang yang entah dari kelas bawah hingga atas. Tetaplah percaya, kalian bisa lebih besar walau kalian harus tumbuh di tempat yang begitu sulit. Karena dari sana kalian akan banyak belajar."
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bunda yang sudah memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada saya, karena itu sangatlah penting dalam perjalanan saya. Kak Luna, yang memberikan saya banyak pelajaran. Juga teman saya yang sudah tenang di surga. Serena Grace. Terima kasih sudah menjadi teman terbaik. Ian, Khai, Theo. Terima kasih banyak untuk segala pelajaran yang sudah kalian berikan kepada. Bagaimana pun, kalian masih jadi bagian dalam kisah saya. Terima kasih."
Di akhir pidatonya semua orang bertepuk tangan riuh. Dan Lucy berhasil membuktian dirinya.
Berselang waktu sekitar dua jam, kini acara formal sudah selessai. Malamnya nanti, mereka harus kembali menyiapkan diri untuk menghadiri acara prom night. Tapi Lucy sudah berniat tidak datang karena dia yakin tidak bisa begitu menikmati acara. Lebih baik tidur pikirnya.
Baru saja keluar gerbang, ia mendengar suara yang langsung membuat mata Lucy bergerak cepat mencari arah sumber suara.
"Ian?!" Lucy langsung berlari ke arah Ian yang sedang berdiri di bawah pohon yang ada di sebelah kanan Lucy.
"Hai, long time no see you," ucap Ian seraya memberikan satu buket bunga pada Lucy.
"Parah banget. Kita engga graduate bareng," ucapLucy dengan bibir yang mengerucut.
"Yang penting, kan gue dateng. Engga mau peluk, nih? Engga kangen sama gue?" Lucy langsung menatap aneh Ian yang memang sudah aneh. Walau belum bertemu lagi, merekasering mengobrol lewat telepon. Dan Ian memang sudah seaneh itu.
"Apaan sih, lo! Ngapain gue kangen sama lo," cibir Lucy.
"Yaudah, gue yang kangen." Akhirnya Ian yang mengalah dan memeluk Lucy lebih dulu. Walau menolak memeluk duluan, bukan berarti Lucy juga menolaksaat dipeluk. Dia akui jika Ian adalah laki-laki baik yang pernah ia temui.
Masih dalam pelukannya, Ian kembali bertanya perihal pertanyaan yang sudah enam bulan selalu ia ulang-ulang. "Mau jadi pacar gue, gak?"
"Eneg gue, Ian denger pertanyaan itu mulu," ungkap Lucy yang juga jengah dengan pertanyaan Ian yang tidak pernah berhenti ditanyakan setiap hari.
"Masih engga mau?"
"Gue engga punya skill jadi pacar," jawab Lucy. Ian hanya tertawa. Walau ungkapan Lucy seperti itu, sosok yang mengatakannya tidak berniat sama sekali untuk melepaskan pelukan mereka walau kali ini menjadi sorotan.
"Gue jokiin, deh."
"Kalo gitu, berarti lo perjuangan sendiri dong? Sama aja boong, oon!"
Ian menghela napas. Lelah juga ternyata. "Yaudah nikah aja. Duit gue masih banyak. Tenang."
"Ian Tolol Cooper!"
"Yes, Mrs. Cooper?"
Setelahnya, Lucy pamit pergi bersama dengan Ian. Dan bundanya pulang bersama dengan Luna. Lucy diajak ke sebuah tempat yang begitu tenang. Dulu. Sekarang dia sedikit merasa sedih, walau sudah berdamai dengan luka lamanya. Rooftop.
Sebuah tempat yang pernah menjadi yang paling Lucy sukai, berubah menjadi luka saat mengingat memori kematian Serena. Walau sudh berdamai dengan keadaan, tetap saja luka ditinggal oleh seseorang yang tidak bisa ia peluk lagi raganya itu sulit mencari alasan untuk sembuh dan bersikap seolah semua ini tidak pernah terjadi.
"Makasih, Ian. Udah jadi teman yang masih ada sampai sekarang."
"Gue juga mau bilang terima kasih."
Perjalan mereka berat, tapi begitu berarti. Mungkin, inilah cara Tuhan untuk menunjukkan mereka jalan yang sebenarnya. Jalan yang menjadikan mereka benar-benar menjadi manusia.
"Lo engga ninggalin gue, kan?" Ian langsung mendekap Lucy. Gadis itu sudah banyak menerima luka hingga menjadikannya seseorang yang takut akan kehilangan. Hingga akhirnya tumbuh menjadi orang yang fokus dengan tujuannya saja dan mempersempit lingkungan pertemanan.
"Never Lucy Madeline. I'am always here for you. Because I loved you."

KAMU SEDANG MEMBACA
Worst Class
Misterio / SuspensoSeorang guru sekaligus donator berpengaruh di School of Ukiyo ditemukan meninggal dunia di sebuah ruangan kelas yang membuat satu sekolah gempar. Dan di waktu yang kejadian, polisi menemukan lima jejak kaki berbeda yang diduga bertemu dengan korban...