1. Nyinyiran Pagi

15 2 0
                                    

"Aurel?!"

Teriakan ibu terdengar hingga ke dapur dan tidak lama kemudian dia muncul dengan tergesa-gesa.

"Bantuin Ibu bawain pesanan Bu Rini. Ibu mau ke kamar mandi sebentar," perintahnya sambil berlalu.

Buru-buru kututup botol air minum yang baru selesai kuisi lalu pergi mengambil dua kantung pesanan milik Bu Rini.

"Langsung bawa keluar ya, Rel."

Baru saja aku muncul di ruang tamu, Bu Rini sudah memerintahkanku untuk membawa pesanannya keluar. Kenapa dia tidak melakukannya sendiri coba.

"Anak Ibu udah nunggu di luar. Langsung kasih dia ya."

"Iya," jawabku malas.

Tepat di luar pagar rumah, mobil Bu Rini terparkir di sana. Sosok anak Bu Rini kemudian keluar dari sana.

"Ini pesanannya," kataku ramah.

Dia mengambil pesanan itu lalu melengos pergi menaruhnya di bagasi. Sebelah sudut bibirku terangkat melihat sikapnya yang tidak jauh dari Ibunya itu. Aku pun buru-buru pergi dari sana.

"Aurel masuk jurusan apa, Nak?"

Pertanyaan itu langsung kudapatkan saat aku bahkan baru ada di ambang pintu. Bu Rini masih duduk sendirian di ruang tamu.

"Pendidikan Biologi Bu," jawabku kemudian.

"Ibu Baru tahu loh kamu masuk pendidikan biologi. Itu jadi gurukan? Kenapa mau jadi guru? Jadi guru itu gajinya kecil loh."

Mendengar ucapannya aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku sudah menduga jika Bu Rini akan mengatakan hal ini. Kalimat itu sudah seakan menjadi kalimat template untuk orang-orang yang mendengar jurusan yang kuambil.

"Kamu harusnya masuk jurusan hukum seperti anak Ibu. Kebetulan anak Ibu keterima lewat jalur mandiri."

"Aku keterima jalur SNMPTN, Bu," kataku bangga. Aku tentu tidak ingin kalah, apalagi mendengar anaknya masuk kuliah melalui jalur mandiri. Enak saja dia merendahkanku di saat posisinya juga tidak jauh lebih bagus.

"Oalah... Tapi itu katanya jalur giveaway, bener gitu Rel? Soalnya ya, ada anak temen Ibu yang ikut daftar lewat jalur SNMPTN. Eh malah enggak keterima, padahal dia pinter banget, selalu juara kelas malah. Terus malah temannya yang nilainya di bawah dia malah keterima."

Aku sejujurnya malas menjelaskan hal seperti ini pada orang yang seperti Bu Rini, tapi aku tidak bisa diam begitu saja jika hal ini dia gunakan untuk merendahkanku.

"Mungkin aja anak temen Ibu ngambil jurusan yang banyak peminatnya, jadi saingannya banyak banget. Terus nilai saingannya itu di atas anak temen Ibu. Oh ya, bisa juga saingannya punya banyak piagam penghargaan," jelasku.

Di saat orang-orang menganggap orang-orang yang masuk kuliah dengan jalur rapor adalah jalur giveaway, aku hanya bisa tersenyum. Ingin sekali aku berteriak, apa mereka lupa jika nilai rapor itu berusaha dibuat selalu bagus di setiap semesternya dengan terus belajar? Tiga tahun itu bukan waktu yang mudah untuk membuat nilai selalu meningkat.

"Andai belum telat buat ganti jurusan Rel. Kamu pasti bisa masuk jurusan hukum macam anak Ibu."

Begitu Ibuku datang aku pun buru-buru berucap, "Duluan ya Bu, aku mau siap-siap, takut telat."

"Mau berangkat sama-sama Rel?" tawar Bu Rini.

"Aduh enggak usah deh Bu, takut ngerepotin."

"Bu Widuri, enggak apa-apakan Aurelnya berangkat kuliahnya sama saya? Mumpung saya anterin anak saya juga."

Trapped in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang