Prolog

41 3 1
                                    

Riasan tebal nan berat yang sudah melekat padaku dari setelah subuh akhirnya tidak ada lagi. Rasanya sangat melegakan sekaligus mendebarkan. Bagaimana tidak, setelah seharian bersama para tamu dan keluarga, sekarang aku hanya akan bersama dengan pria yang akhirnya menjadi suamiku.

"Enggak boleh takut," kataku menyemangati diri.

Aku yang masih berada dalam kamar mandi dengan hati-hati membuka pintu. Dari celah pintu, aku mencoba melihat ke luar. Sepi, tidak ada siapa pun di lorong. Perasaan lega tidak dapat kuelakkan. Bagaimana tidak, aku masih terlalu malu untuk bertemu dengan sanak keluarga yang mungkin saja masih tersisa dan dengan langkah cepat aku berlari menuju kamar.

"Aurel?"

Panggilan itu sontak menghentikan langkah kakiku. Aku meringis, tidak percaya jika aku harus bertemu dengan Bunda di saat seperti ini.

"Ya Bun, ada apa?" Aku berbalik sambil memperlihatkan senyum manis.

"Sagara lagi makan di dapur, sana kamu makan juga," perintahnya.

"Bunda sendiri udah makan?" tanyaku.

"Sudah, sana ke dapur, nanti Sagara lelah nungguin."

Aku mengangguk lalu beranjak pergi ke dapur, sedangkan Bunda masuk ke dalam kamar mandi. Aku kira Sagara hanya sendirian di dapur, ternyata dia di sana bersama Ayah. Ini jelas lebih canggung dari yang kukira.

"Mau tambah lagi lauknya?" tanya Sagara yang tanpa ragu melayaniku. Tapi karena dia melayaniku makan, aku malah malu.

"Enggak usah, itu udah cukup."

Selama makan, tidak banyak percakapan yang terjadi, hingga akhirnya Sagara meninggalkanku ke kamar. Jadi, tersisalah aku dengan ayah mertuaku itu. Sangat canggung, itulah yang kurasakan. Aku masih belum terbiasa dengan orang tua Sagara, apalagi setelah mereka melihat apa yang terjadi.

"Ayah masuk duluan ya, Aurel," pamit Ayah lalu pergi meninggalkanku sendirian.

Tidak terlalu lama di dapur, aku makan dengan cepat. Begitu selesai, aku menyempatkan untuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, aku teringat lagi tentang apa yang akan kuhadapi sekarang.

"Aku enggak mungkin di kamar mandi terus."

Akhirnya aku di depan pintu kamar. Takut-takut aku membuka pintu kamar lalu tersentak saat melihat sosok Sagara yang ada di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Sadar akan kehadiranku, pria itu pun menatapku dengan pandangan bingung.

"Kenapa?" tanyanya.

"Enggak apa-apa kok." Aku tersenyum, tapi rasanya senyum yang kusinggingkan tampak aneh dan canggung.

"Enggak ada lagi yang di kamar mandi, kan?"

"Iya, enggak ada."

Sagara bangun lalu berjalan mendekatiku. Aku yang ada di depan pintu pun segera bergeser memberi jalan.

"Aku mau mandi. Kalau kamu mau tidur, tidur duluan aja," pesannya yang entah kenapa terdengar template.

"I-iya."

Sagara berlalu keluar kamar begitu saja. Aku pun sontak berbalik memandangi pintu kamar yang tertutup. Ada sedikit rasa tidak terima saat Sagara menyuruhku untuk tidur duluan dibandingkan menunggunya kembali.

Aku memang tidak mengharapkan adanya malam pertama malam ini, tapi sedikit tidaknya di saat kita akan tidur di tempat yang sama untuk pertama kalinya, kita bisa mengakhiri malam ini dengan cara yang lebih romantis bukan?

"Haaa... huuu...." Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Aku tidak boleh larut dalam perasaan kesal, apalagi ini hari pertama aku dan Sagara resmi menjadi sepasang suami istri.

Trapped in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang