Canggung

13 1 0
                                    


"Jihan, udah berapa umurmu?"

Pertanyaan yang selalu saja membuatku muak. Padahal jelas-jelas tubuhku sudah bertumbuh besar seperti ini. Masih saja paman, bibi dan saudara lain menanyakannya. Membuatku malas menanggapinya.

Kalau tidak karena paksaan orang tuaku, mungkin aku takkan ikut arisan seperti ini. Seumur-umur acara arisan keluarga begitu membosankan. Tak ada yang menarik.

"Saya udah hampir lulus SMA, tante."

Kuakui senyumku sangat terpaksa. Beberapa sanak menjejaliku tatapan yang tajam. Entah, mungkin karena outfitku yang terlalu modern. Sehingga mereka beranggapan aku anak yang tak bisa diatur.

"Pa, aku jalan-jalan deket sini, ya."

Papa mengangguk, mama hanya mengerling heran saja. Tak biasanya aku mau berkeliling di area perkampungan salah satu kota yang begitu padat penduduknya.

Sembari menggandeng Jeni, adikku yang masih SMP ini, aku menyusuri jalan berdebu. Saat itu sebelas siang, matahari begitu terik menyengat kulit kepalaku.

"Jen, makan rujak manis, yuk. Tuh, disitu ada yang jual," tawarku pada Jeni yang cecelingukan menyorotkan pandang pada arah yang kutuding.

"Ayo, Kak. Kayaknya enak, tuh."

Terasa asam, manis, pedas menyatu dalam satu kunyahan di mulut. Segelas es cincau hitam menemani camilan khas daerah itu.

"Lho, hei!"

Sebuah suara menyapaku. Panggilan itu berasal dari seorang anak lelaki yang mengendarai motor sport berknalpot brong. Ia menghentikan laju motornya beberapa meter dari jarakku.

Lelaki itu membuka helm kuningnya. Seketika aku menyipitkan mata, terheran dan bertanya dalam benak. Siapakah dia? Apa aku kenal dengannya? Mengingat daerah itu bukanlah hometownku.

"Jihan, kamu, kok, sampe sini?"

Jaket kulit hitam, sepatu converse, kulit wajahnya kuning langsat. Hmm, siapa lagi kalau bukan....

"Rio?"

Meringis. Rio meringis sembari berjalan ke arahku, wajah yang sudah lama tak kujumpai. Sangat berubah. Ya, berubah tampan. Aku tak menyadarinya.

"Eh, kamu pasti Jeni."

Jeni mengangguk dan menyambut jabatan tangan Rio. Adikku mulai mengobrol dengannya. Seperti biasa, aku yang pendiam tak banyak kata yang kuucapkan padanya. Kikuk melanda diriku. Ah, apa sih?

"Gimana? Mau ngelanjutin ke mana, nih ntar abis SMA?"

Rio mengambil tempat duduk di kedai rujak ini dan mendekatkannya di sampingku. Tentu saja tak menjawabnya langsung, kuatur dulu napasku yang masih tak beraturan.

"Emm, belom tau. Kalau kamu?"

Rio seumuran denganku, jarak kelahiran kami memanglah sangat dekat. Hanya selisih dua bulan lebih tua diriku. Tapi entah, mungkin karena jarang bertemu jadi aku merasa canggung bila bertemu dengannya.

"Mungkin aku mau mendaftarkan diri ke instansi militer, kalau pun nggak masuk ya nerusin kuliah aja sambil kerja."

Aku mengangguk-angguk mendengar pernyataan Rio. Tentu tak semua anak lelaki punya cita-cita tinggi. Namun, aku mengagumi keinginannya itu.

"Udah selesai, nih. Kamu gak ke rumah Bibi Sumi?" tanyaku pada Rio yang baru bangkit dari duduknya.

"Nah, ini juga mau ke sana. Mumpung aku ga ada acara di hari minggu ini. Biasanya aku kumpul klub soalnya."

Hmm, makanya kok tiap bulan selalu nggak keliatan. Ternyata dia ikut klub motor, toh. Dugaanku sudah terjawab.

"Oke, kamu duluan aja. Ntar ketemu di sana." Aku meninggalkan kedai dan berjalan bersama Jeni. Hatiku merasa berdebar tak karuan. Pesona Rio seakan mengobrak-abrikkan pikiran tenangku.

Pikiran yang bebas dari jamahan lelaki mana pun. Sebab, sampai saat ini tak ada satupun lelaki yang mampu membuatku jatuh hati.

"Nak Jihan, segera makan, gih. Itu udah ditunggu mama papamu."

Bibi Sumi menyodorkan piring kepadaku dan Jeni. Aku terdiam dan berpandangan dengan Jeni. Perut kita memang sudah terasa kenyang akibat makan rujak dan es cincau di kedai seberang. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk tetap makan daripada kena marah mama.

Aku memilih makan di ruang tamu, sembari celingukan menantikan Rio datang kemari.

"Kak, kamu nungguin Rio?" Jeni mengagetkanku. Tentu saja, Jeni. Inginku menjawab begitu tapi tidak.

"Ah, nggak. Saking aja pengen liat taman Bibi Sumi yang bagus itu. Andai rumah kita ada tamannya, ya, Jen."

Jeni mencibirku. Tentu aku paham raut wajah saudaraku ini merespon tingkahku yang aneh.

Sebuah suara knalpot brong memekakkan telinga. Lalu berhenti tatkala terdengar seperti telah memasuki halaman rumah Bibi Sumi.

"Itu pasti Rio. Dasar anak Pak Dudung, nih," keluh Bibi Sumi sambil berlalu menghampiri Rio di halaman depan.

Aku mempercepat gerakan makanku, karena pasti malu bila Rio tau aku makan lagi setelah menghabiskan sepiring rujak beberapa menit yang lalu.

"Rio! Kenapa baru datang, Nak?" ujar Bibi Sumi sembari berkacak pinggang.

Memang, Rio bukan anak Bi Sumi tapi dari Rio kecil sudah sangat dekat dengan Bibi Sumi. Maka dari itu, ketika ada acara begini Bibi Sumi sangat kesal bila Rio tak datang ke rumah atau sekedar membantu Bibi Sumi yang telah menjanda untuk menyiapkan segala keperluan.

"Maaf, Bi. Rio baru saja dari sekolah. Klub basket menyuruhku melatih adik kelas."

Pantas saja badannya tinggi, ternyata juga ikut klub basket. Hmm, makin ter-ter aja, nih diriku.

Percakapan Bibi Sumi dengan Rio terdengar jelas, membuat makanan di piringku tak kunjung habis. Padahal makanan milik Jeni sudah bersih tak bersisa.

"Eh, Jen, nitip, dong."

Aku menyodorkan piring yang masih tersisa seperempat porsi itu pada Jeni. Seketika Jeni menyungut lalu menggeleng cepat. Ia berlalu tanpa menghiraukanku.

Uh, dasar! Adik macam apa Jeni ini.

Rio tampak memasuki area ruang tamu. Sekejap aku kelabakan karena takut malu dilihat olehnya.

"Uhuk! La la la," desisku lantas bangkit menuju dapur, berpura-pura tak melihat Rio yang ternyata telah melihatku.

"Han, Jihan!"

Deg! Kenapa Rio manggil aku, sih. Ah, berlagak cuek, ajalah.

"Dih, sombongnya, tuh cewek," ucap Rio. Meski masih kedengaran, aku tetep kekeh nggak mau menoleh. Ya, ibaratnya cuek dulu lah.

"Udahlah, Rio. Jihan baru selesai makan, tuh. Kamu juga sana, cepetan makan. Arisannya mau disudahi, nih."

Alamak! Ngapa Bibi Sumi ngomong ke Rio. Mampus aku!

Setelah nyuci piring. Aku segera kembali pada keluarga yang berkumpul di ruang keluarga.

Entah kenapa, bulan ini banyak yang tak hadir di acara arisan keluarga. Padahal sebulan lagi Lebaran, yang pasti akan ada banyak acara yang diselenggarakan untuk menjalin tali silaturahmi.

"Mas Dadang. Apakah nanti kita mengadakan halal bihalal ke kota kelahiran almarhumah Ibu?" tanya salah satu anggota keluarga pada papaku.

"Ya, kita bicarakan nanti. Melihat nanti bulan puasa kita akan mengadakan acara buka bersama, di saat itu lah kita memutuskan apakah ke kota Ibu atau tidak."

Keluarga pihak Papa memang sangat besar, sampai-sampai bila silaturahmi kita harus menyewa sebuah bis pariwisata agar muat untuk semua keluarga.

"Baiklah kalau begitu, mari kita akhiri acara arisan keluarga ini. Untuk bulan berikutnya arisan akan jatuh di rumah Mas Dadang, dengan tema buka bersama."

Pak Dudung, kakak dari papa menjelaskan. Karena beliau adalah anak lelaki tertua, setelah dua orang kakak perempuan lainnya.

Aroma wangi menyeruak menggelitik hidungku. Hmm, aroma maskulin.

Tak terduga Rio mengambil duduk tepat di sampingku. Alamak! Kaget dibuatnya hampir copot aja jantungku.

Rasa Yang TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang