"Apaan, sih kamu, Rio."
Aku menggeser tubuhku agar sedikit menjauh dari Rio, meski tak ada celah lagi untukku bergeser karena di sampingku adalah tembok.
"Ih, gitu aja sewot," rutuknya mengerucutkan mulut. Aku sedikit menahan diri agar tak begitu terbuai aroma Musk parfum Rio. Begitu menggoda memang hingga yang kurasakan hanyalah nuansa kesegaran tanpa hingar-bingar situasi sebenarnya di acara ini.
"Kamu gak bosan di sini? Yuk, keluar. Aku ajak jalan-jalan."
Makjleb! Mukaku memerah dalam sekejap. Apa nggak salah Rio menawariku hang out? Secara aku dan dia sudah lama tak bertemu, sekali ketemu malah ngajak jalan. Mana bentar lagi acara hampir selesai. Apa nggak mikir, nih, anak?
Sikut Rio menyenggol lenganku. Lamunanku terbuyar dalam sekejap. Para sanak saudara masih sibuk dengan acara penutupan yang masing-masing harus mengumpulkan uang arisan di Mamaku.
Aku melirik Jeni yang sibuk bermain dengan kerabat lain sebayanya. Sementara aku? Masih aja dipepet ama lelaki petakilan ini. Handsome, sih handsome. Tapi genitnya itu bikin ampun.
Rio mengambil kunci motor dari saku bajunya, dan memainkannya di jarinya. Diputar-putar gantungan kunci berlabel klub motornya itu, mungkin agar diriku tahu bahwa dia menunggu jawabanku.
"Emm, aku pamit dulu, ya?"
"Ga usah, bentar aja, kok."
Aku menipiskan bibir, dan melamatkan pandangan pada raut wajah Rio.
Setelah Rio bangkit, aku menunggu beberapa menit lalu menyusulnya di pintu rumah. Ia sudah siap diatasi kuda besinya dengan helm di kepalanya.
"Aku pake helm apa?"
"Tuh!" Rio menunjuk ke arah helm pink yang tergolek lesu di atas lemari sepatu kaca. Entah punya siapa, yang penting aku aman memakainya. Setidaknya bila Rio mengebut lalu terjatuh, kepalaku aman dan gak sampai amnesia gitu.
Oh My God! Jok belakang motor Rio kenapa tinggi sekali, sampai-sampai aku selalu melorot ketika menaikinya.
"Ma-maaf, Rio. Jokmu, nih bikin aku melorot terus ke belakangmu."
Dia terkekeh, menurutnya hal ini lucu dan konyol gitu? Ah, dasar aku yang gampangan, nih. Mau aja diajak cowok nggak peka ama perempuan.
"Udah gapapa. Lagian aku gak keberatan kamu nempel di punggungku, kok."
"Uh, dasar ngaco kamu!" sahutku sambil menoyor helm Rio.
Hampir sepuluh menit berlalu. Perjalanan ini tak kunjung berhenti. Entah Rio mengajakku ke mana, yang jelas kawasan ini sangat dekat dengan beberapa wisata alam dan hiburan rakyat. Mungkin saja Rio mengajakku ke salah satu tempat itu.
Angin berhembus kencang. Pemukiman yang disusuri begitu padat namun memiliki ciri khas tersendiri. Ya, Rio ternyata mengajakku ke pantai. Pantai yang sangat terkenal di kota ini.
Sebelum sampai di pantai, ada beberapa wilayah yang dijadikan tempat kerajinan dan pengelolaan bahan laut. Benar saja, itu semua membuatku kagum.
Rio melaju dengan pelan, ia sengaja supaya aku dapat menikmati suasana itu. Cuaca memang sangat syahdu, tidak mendung dan tidak panas. Di mana saat itu matahari condong ke barat, artinya senja baru saja menjelang.
"Kita berhenti di sini aja, ya."
Pesisir pantai yang kebetulan sepi pengunjung. Pasirnya begitu banyak serpihan kulit kerang berwarna putih.
Sesudah memarkirkan sepedanya, Rio mengajakku berjalan sampai di tepi pantai. Ia melepas sandalnya dan menjadikannya alas duduk. Aku pun akhirnya menirunya.
"Kamu sepertinya biasa ke sini, ya?"
Rio meringis. Matanya yang sempit membuatnya seperti pria yang kehilangan mata saat tersenyum atau tertawa. Salah satu tipikal wajah yang menarik dan unik menurutku.
"Aku pernah dengar rumor kalau di pantai ini sering dipakai untuk ajang pacaran, bener gak, sih?"
Tertawa Rio begitu renyah, dibarengi dengan bersemunya pipi cowok ini. Aku sedikit terpukau tapi rasa penasaranku mengalahkannya. Aku tetap ingin mendengarkan jawaban atas pertanyaanku ini.
"Memang, sih. Kamu nggak salah."
"What? Beneran emang, ya? Berarti kamu pernah pacaran di sini, dong? Kuliat-liat kalo malam tiba, pasti tempat ini bakal gelap banget lah. Pantes aja dipake gituan."
Tatapan Rio jatuh ke laut lepas. Sejenak aku merasakan sisi calm down dia, tanpa sedikitpun merasa terpojok karena stigma negatif yang kubeberkan tadi.
"Keindahan alam tidak harus dinilai berdasarkan campur tangan manusia picik seperti mereka. Harusnya mereka tau, mana yang baik dan buruk. Bukan malah memperkeruh situasi."
Waduh, Rio mendadak serius, nih. Aku harus apa?
Angin laut menerpa ke wajah. Menambah kesan syahdu mendayu-dayu di antara aku dan Rio. Momen yang tak terduga terjadi di antara kita. Detik-detik ini memang akan berlalu nantinya, oleh karena itu aku sebisa mungkin menciptakan kesan yang tak terlupa.
Meski saja di waktu mendatang, aku dan Rio akan jarang sekali bertemu karena sibuk menata masa depan.
"Jihan, pernah nggak kamu merasa kalau bersama seseorang yang jarang kau temui malah terasa nyaman?"
Deg! Pertanyaan apa itu? Rio ada-ada aja, nih. Mengarang bebas lu, Rio.
"Emmm. Nggak pernah, sih. Kamu tau sendiri aku tipe introvert. Tak mungkin lah aku pergi sama orang yang jarang kutemui," jawabku sesuai dengan pikiran saat ini. Ambyar.
Rio mendadak tertawa ngakak. Entah badut macam apa yang bisa menghiburnya kali ini. Bahkan ubur-ubur yang menari-nari di laut itu pun sepertinya tak mampu membuat Rio ketawa seperti ini.
"Napa kamu? Emang omonganku lucu?"
Menggeleng. Bener-bener deh, ni cowok. Nggak ketebak.
Pandangan Rio masih tertaut di pemandangan laut nan jauh di depan kami. Namun, entah aku merasa sepertinya Rio mencuri-curi pandang terhadapku. Sebab, ekor mataku menangkapnya.
"Aneh kamu, Han. Lha, aku ini apa? Orang yang jarang kautemui 'kan? Kok mau aku ajak ke sini. Ngemper pula."
Waduh! Kikuk aku diskakmat Rio. Aku harus tetap tenang, jangan sampai terbawa baper. Bisa-bisa Rio kege-eran.
"Yuk, ah. Pulang. Aku capek, nih."
Ouchh. Plan B ku, nih. Aku nggak bakal sanggup kalau nerusin obrolan berat ini. Kukira Rio bakal santai, eh ternyata seserius itu.
"Hemm. Padahal udaranya lagi enak, nih. Tuh, liat. Burung camar aja baru nongol. Masa iya, kamu keburu pulang aja. Ogah, ah. Pulang sendiri sono," tutur Rio sembari menyelonjorkan kaki. Kedua tangannya menopang tubuh ke belakang. Chill out.
Aku mendengus menahan perasaan yang berkecamuk. Bener-bener Rio bikin aku geram. Dia apa nggak kepikiran ortu dan adikku bakal nungguin aku di rumah Bi Sumi.
Jam tangan menunjukkan angka 16.00 WIB. Nggak terasa hampir empat puluh menit berbincang dengan cowok sangar ini. Dalam hatiku tak menentu, antara kagum dan risih.
"Jujur aja. Aku pernah pacaran di sini," ujar Rio merendahkan nada bicaranya. Ia menunduk menahan malu, bibirnya terkatup sempurna menutupi aib yang harusnya tak ia sahutkan padaku begini.
"Bhua ha ha ha...."
Tak bisa kutahan lagi. Aku tertawa lepas setelah mendengar pengakuan Rio. Sebelum dijawab, ia seperti pujangga tanpa cela yang berusaha memaknai hidup dengan positif. Nyatanya?
"Terusin! Terusin aja," sindir Rio menyebikkan mulut.
"Ih, maaf, deh. Kamu sih, gak mau ngaku."
"Lho, kan aku dah ngaku."
"Iya-iya. Lagian nggak mungkin juga cowok kayak kamu gak pacaran. Apalagi deket sini."
"Cowok kayak aku gimana maksudmu, Han? Aku cowok baik-baik, lho, ya," rutuk Rio, rupanya dia tak mau dicap buruk olehku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Yang Terlarang
Genç KurguBerlatar tahun 2000an. Jihan mengalami lika-liku kehidupan percintaan yang dramatis. Entah kebetulan atau tidak, hampir semuanya kandas di tepi jalan. Hingga suatu saat ia telah menemukan cinta sejati. Namun sayang, ternyata cinta yang dijalaninya i...