"Sakit, ya? Sini aku liat."
Yes, true! Dia Diko. Tumben-tumbenan nyapa, biasanya si perfeksionis ini begitu cuek ama cewek berwajah biasa kayak aku gini.
"Nggak, kok. Udah gak sakit," sahutku sembari menutupi pelipis dengan buku.
Tiba-tiba Diko tersenyum lalu tertawa sambil membuang muka. Kemudian mulutnya ditutupi dengan tangan, entah apa maksudnya begitu.
"Kau baca buku itu?"
Aku mengernyitkan dahi. Apa maksud Diko? Buku apaan, sih?
Beberapa detik otakku loading, ternyata.... Oh, tidak! Buku yang kuambil ini sangat absurd, kesalahan total. Gila! Maluku sampai ke ubun-ubun, pipiku rasanya panas bila dilihat mungkin sudah bersemu merah padam.
"Emang kamu udah nikah, baca buku begituan?"
"Rahasia Kama Sutra" Buku dewasa untuk suami istri ini, mah. Ngapa juga aku ambil. Dungu banget, sih, Jihan!
Sontak buku itu kusembunyikan di balik badanku, agar Diko tak lagi mengejekku sebab kebodohan yang kuperbuat ini.
"Eh, keningmu biru, tuh."
Nah, kan. Keliatan dia akhirnya. Makanya, kok terasa nyeri sampe pening begini.
"Udah, Dik. Gapapa, kok. Kamu lanjutin aja belajarnya. Aku mau balik ke kamar aja. Bye!"
Diko menipiskan bibir saat aku berpamitan dengannya. Rupanya, sih dia masih ingin berbincang tapi karena kepala terasa pusing, aku mengakhiri obrolan singkat tadi.
---
"Kak Jihan, cepet siap-siap. Kita kan mau belanja."
Jeni tiba-tiba membangunkanku dari peraduan empukku yang hanya dua hari kupakai tiap seminggu.
"Ah, gak mau. Kenapa nggak kamu aja, sih yang berangkat sama Mama. Aku capek, nih."
"Ih, Kakak. Nggak asyik!"
"Udah, sana-sana. Gangguin, aja."
Akhir pekan ini memang begitu sibuk di mana-mana, sebab beberapa hari lagi memasuki bulan puasa. Di mana semua umat muslim berpuasa wajib selama satu bulan penuh.
Orang tuaku salah satunya yang begitu ribet untuk mempersiapkan Ramadan. Padahal, puasa itu menahan hawa nafsu, makan dan minum. Entah kenapa justru belanja bahan pangan besar-besaran, nggak habis pikir sama mereka.
"Lho, kukira belum berangkat," tegurku pada Jeni yang wajahnya sudah ditekuk-tekuk karena Papa masih sibuk dengan komputernya, sedangkan Mama sedang menyiapkan tas belanjaan super besar untuk dimasukkan ke dalam mobil.
"Cepet mandi sana, Jihan. Ayo, kamu harus ikut," ujar Mama setelah melihatku duduk bengong dengan handuk di leher.
"Ah, Mama. Kenapa, sih aku harus ikut?"
"Cepet, sana! Tanya-tanya, aja."
"Iya-iya."
Akhirnya aku juga ikut berangkat, setelah omelan Mama melebur tembok besar kemalasanku.
Jalanan sangatlah ramai. Banyak lalu lalang orang kesana kemari. Bulan Ramadan yang tinggal hitungan hari sudah terasa sekali momennya.
Kali ini kami berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan tradisional, biasa disebut pasar besar.
Aku dan Jeni berjalan membuntuti Mama, sedangkan Papa berjaga di mobil untuk mengangkut dan mengatur barang belanjaan.
"Kita beli apa aja, sih, Ma?"
"Ya, rencana Mama, sih. Mau buka jualan takjil di lapangan komplek."
"Hah? Jualan? Jualan apaan?" cecarku penasaran, tak biasanya Mama meribetkan diri sendiri untuk berjualan makanan atau minuman yang untungnya tak seberapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Yang Terlarang
Teen FictionBerlatar tahun 2000an. Jihan mengalami lika-liku kehidupan percintaan yang dramatis. Entah kebetulan atau tidak, hampir semuanya kandas di tepi jalan. Hingga suatu saat ia telah menemukan cinta sejati. Namun sayang, ternyata cinta yang dijalaninya i...