Gila! Luki emang gila, nih. Teman macam apa kau, mengumpankanku pada kucing kelaparan. Lalu, hendak apa yang akan kujawab pada dirinya kini?"Oh, itu. Udah kelar, Mas. Nggak usah dipikirin. Aku cuci tangan dulu, ya."
Itulah sekelibat jawaban yang tersirat di otakku.
Untungnya, si cowok itu tak terlalu menggubris perkataanku. Sepertinya ia sedang menikmati suasana sendu di resto KFC yang sedang memutar musik mellow dari Rio Febrian yang berjudul "Jenuh".
Mengendap-endap hendak masuk toilet, aku langsung balik kanan tancap gas keluar resto. Mencari Luki si tukang bikin onar.
"Haann! Jihan!" teriak seseorang yang tentu suaranya sangat familier di telinga.
Nah, bingo! "Eh, bocah! Sadar diri lu, ya. Tuh embat aja si cowok itu. Ya, bener sih sopan, langsung ngajak makan. Tapi yang ga bener tuh, elu Ki."
"Ya, mangap, deh Han. Eh, gimana ganteng, gak? Kaya, deh, kayaknya."
Jihan terus menjejaliku pertanyaan ghaibnya. Bagiku, si cowok itu bukanlah tipe idaman. Beda cerita kalo si cowok itu sangar penampilannya, 11 12 sama si Rio.
Eh, ngapa malah bahas si Rio. Jauh-jauh dulu, deh. Lagi suntuk aja mikirin dia, sodara sepupu lelaki yang sok kegantengan.
"Gini, kamu tetep nyuruh aku penyamaran atau kamu jujur?" jejalku pada Luki yang cecelingukan mengamati sekitar.
"Mmm, kayaknya tetep samaran aja, deh, tapi aku ikut nimbrung, ya. Boleh, kan?" pinta Luki. Si gadis manis nan memuakkan itu akhirnya meluluhkan untuk menghimpun kata demi kata yang harus kurangkai supaya si cowok idaman Luki ini percaya.
"Kenalin, nih, Mas. Temenku namanya..."
"Putri," sahut Luki menyodorkan tangannya. Padahal dari tadi aku belum berjabat tangan sama si cowok ini.
"Jadi, kalian teman satu sekolah dan satu asrama, ya?"
Kami berdua mengangguk-angguk, sambil menikmati gurihnya ayam krispi yang mungkin hanya bisa dinikmati setahun sekali, karena harganya yang dibilang mahal untuk anak kos.
"Mister Black Sweet, pekerjaanmu apa?"
Sontak si cowok kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Luki secara tiba-tiba. Bukan karena pertanyaannya, justru karena nama panggilannya di media chatting yang secara tidak langsung diucapkan oleh Luki, bukan diriku.
"Oh, kamu kok tahu nickname-ku? Apa kamu yang beritahu, Miss?"
Pertanyaan yang dihadapkan pada Luki, berakhir menunjukku. Sungguh di luar nalar, pertemuan macam apa ini.
"I-iya, kami sudah berbagi cerita. Maka dari itu, kami sama-sama sudah tau."
Syukurlah Luki mengarang bebas, kali ini ada baiknya aku diam saja. Biar obrolan mengalir dan menyadari siapa sebenarnya pelaku utama peristiwa ini.
"Plis, Ki. Janganlah kau libatkan aku begini. Kutak sanggup, you know!"
"Ya, sorry, Han. Habisnya aku takut cowok itu jelek. Makanya biar kamu dulu yang ngadepin."
"Tega-teganya kamu, Ki. Ah, yasudahlah. Lagian udah selesai juga kencan buta kampret ini."
Jalanan lengang nan sunyi menuju asrama menemani obrolan konyol diriku dan Luki. Meratapi nasib gadis SMA yang tak kunjung punya pacar di tengah gempuran teman lain yang pamer kemesraan bersama pacar-pacar mereka.
"Besok ngebasket, yuk. Aku mau ajak Diko dan kawan-kawannya."
Ajakan Luki begitu menggemparkan batinku. Ah, ni anak tau aja sebenarnya aku naksir Diko, si jenius yang selalu peringkat satu serta jago dalam basket. Benar-benar perfecto!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Yang Terlarang
Fiksi RemajaBerlatar tahun 2000an. Jihan mengalami lika-liku kehidupan percintaan yang dramatis. Entah kebetulan atau tidak, hampir semuanya kandas di tepi jalan. Hingga suatu saat ia telah menemukan cinta sejati. Namun sayang, ternyata cinta yang dijalaninya i...