Kencan Buta

7 1 0
                                    


"Ah, ga asik lu, Rio." Aku menyelempangkan tas dan gegas berdiri.

Sudah kuduga Rio akan tersinggung dengan omonganku. Sungguh aku memang bukan teman ngobrol yang asik. Hingga malah Rio yang kujadikan kambing hitam atas kelemahan diri menguasai situasi.

"Yuk, pulang. Mama papaku pasti udah nungguin."

Wajahku flat tanpa menatap Rio. Gurat senyum telah hilang di wajahnya. Sungguh keterlaluan, harusnya aku tidak sesensitif ini.

Sepanjang perjalanan kami berdua diliputi keheningan. Benar saja, mama dan papa sudah berada di depan rumah Bi Sumi menunggu kehadiranku.

"Kakak, lama amat kencannya."

"Hussst!" desisku sambil turun dari motor Rio. Telunjukku menutup mulut, isyarat tak perlu ada hal yang dilontarkan lagi dari Jeni.

---

Malam itu aku tak bisa tidur. Tentu saja, memikirkan obrolan dengan Rio. Andai saja aku tak mengiyakan ajakan tadi, sudah pasti takkan mengusik khayalan di kepala ini.

"Siapa pacarmu itu, Rio?"

"Halah, kau tak perlu tau. Lagian hanya anak ingusan yang mau kuajak pacaran."

"Idih, sok iye, lu. Mana ada yang mau sama kamu?"

"Banyak. Mungkin aja kamu mau sama aku, ya kan? Ngaku aja."

Pipiku bersemu merah saat itu. Sungguh cowok konyol, bisa aja menuduh tuduhan yang sebenarnya betul terjadi.

---

"Kau ada waktu sepulang sekolah nggak, Han?"

Luki tiba-tiba menanyaiku pertanyaan sakral bagi kaum hawa. Teman cewek sekelas yang selalu berbagi tentang materi pelajaran. Memang, dia bisa dikatakan kutu buku tapi bagiku dialah sosok malaikat yang berjasa.

Tanpanya, aku tak bisa apa-apa dalam ujian. Ya, aku pemalas yang hanya merepotkan teman saja. Namun, mereka masih fine selama permintaannya kukabulkan.

"Apa, sih, Luk? Pasti kamu mau ke warnet ya, kan?"

Wajah innocent Luki sungguh memuakkan, sudah beribu kali dirinya meminta hal itu padaku. Menemaninya ke warnet untuk berselancar di akun Friendster atau chatting di mIRC.

"Yeay, aku dapat pacar, nih, Han," ungkap Luki berbinar-binar. Kutengok halaman di layar komputer, dan....

Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat obrolan Luki dan seseorang yang tidak dikenalnya di chatroom itu. Nggak habis pikir sama Luki, cewek super pemalu itu ternyata mempunyai sisi liar juga.

"Oke-oke, Luki. Lantas, siapakah cowok itu?"

Sambil mengusap airmata haru setelah terbahak, aku mendekati Luki dan memeriksa obrolan mereka.

"Oh, rupanya kamu diajak kencan buta."

Luki mengangguk girang. Kulamatkan pandangan di pelupuk matanya. Ya, anak ini begitu polos. Sehingga kuputuskan untuk menemaninya ketika menemui si cowok idamannya itu.

"Lusa, dia ingin bertemu di mall seberang sekolah."

"Oke. Aku temani," tegasku. Sontak Luki memberondongiku dengan pelukan girang. "Euh, euh, pelan-pelan atuh, neng. Yuk, pulang. Aku rindu bantal, nih," imbuhku.

---

"Bilang aja pake baju merah. Gapapa, nanti aku samperin, deh."

"Ih, beneran kamu, Han. Oh, makasih banyak. Kalo gini kan, aku jadinya tau dia beneran cowok baik atau jahat."

"Terruusss, aku dijadiin umpan gitu? Ehm, kalau kamu bukan sahabat aku, gak bakalan mau deh gue."

"Isss, iya iyaa. Gih, sana kamu berdiri deket eskalator."

Akhirnya apa yang aku risaukan terjadi. Si kacamata tebal alias sahabat karib yang cantik jelita itu menyuruhku untuk dijadikan umpan kencan buta. Hmmm, baik banget dia, ya.

"3310-mu bunyi, tuh," tegurku saat merapikan rambut pendek berponiku.

"Oh, iya iya. Aku ke sana, ya. Ingat, aku pakai baju merah, ya. Oke, daaah." Luki yang memakai baju kuning, bersiap untuk mengawasi setiap orang yang berlalu.

Mengincar apakah benar si Mr X itu ada di mall, ataukah hanya mempermainkan saja.

"Han, kamu tunggu di sini, aja. Kayaknya dia bakal kemari. Aku nungguin di situ, ya sambil mantau.

Aku mengangguk santai lalu berjalan sesuai instruksi Luki. Sesampainya di bibir eskalator, entah mengapa diriku disergap rasa panik dan cemas usai melihat seseorang.

Seorang pria berperawakan sedang, kulitnya putih, memakai kemeja motif kotak-kotak berdiri gagah di eskalator naik, sambil memegangi ponselnya.

"Apakah dia?" gumamku menerka. Sialnya Luki tak memberikanku nomor ponsel si cowok, agar tak begitu mencolok bila aku bukanlah gadis yang dikenalnya melalui chat.

Dengan membelakangi si cowok itu, aku agak merasa tenang. Semoga saja bukan dia, tapi kalau benar mungkin saja aku bakal terpesona juga. Ehmm, dasar.

"Ma-maaf, apakah kamu Miss Sweet Seventeen?"

Whattt? Miss Sweet Seventeen? Siapa, tuh? Eh, bentar. Apa dia lagi nanyain aku, ya? Secara aku membelakangi dia. Apa aku tinggal aja? Hmmm, jangan. Kasian Luki, nanti dia menderita karena cowok kenalannya hilang begitu saja.

Setelah membalikkan badan, aku mencoba tersenyum penuh kepalsuan. Sorry, maksudnya ketulusan.

"Oh, hai. Halo." Aku melambaikan tangan padanya, si cowok berkemeja kotak-kotak itu. Entah mengapa feelingku selalu benar bila menebak orang.

"Di mall ini nggak ada yang pake baju merah selain kamu. Makanya aku langsung tanya ke kamu. Maaf, ya."

Setttdah. Bukannya tuh pegawai Robinson pake baju merah, tapi ya bener sih. Diliat-liat pengunjung mall ini sepi, dan gadis yang pake baju merah cuma gue. Ah, sungguh sial. Kenapa juga menawarkan diri jadi umpan kencan buta begini, sih.

"Emmm, iya ya. Aku juga baru ngeh. Omong-omong ke sini naik apa?"

Beneran, nggak tau deh apa yang kepikiran di otak gue, itu yang kuungkapin. Maap, ya Luki. Jadinya amburadul gini, deh kencanmu.

"Naik motor tadi. Kamu laper nggak?"

"Dikit, sih."

Cengir kudaku sepertinya meluluhkan si cowok ini hingga menawarkan makan malam. Kurasa inilah saatnya mengungkapkan hal yang sebenarnya.

"Hmm. Mas, aku mau ngomong nih, sebenarnya...."

"Tuh, ada KFC. Ayo, ke sana."

Weittss. Kayaknya nggak jadi pengakuan, deh. Aku turutin dulu apa inginnya cowok ini sebelum berterus terang bahwa aku adalah Luki yang palsu atau Miss Sweet Seventeen yang sudah jadi Mission Completed.

Aku mengangguk tanpa ragu, sambil cecelingukan mencari keberadaan sahabat karibku itu. Ah, ketemu. But, kok, ya, dia nyangkut di pilar mall nggak malah nyamperin aku.

Sebuah ide tercetus di pikiran. Semoga saja si cowok ini menyetujuinya.

"Mas, maaf kalo boleh jujur."

"Iya, kenapa, Dek?"

"Sebenernya, aku ke sini sama temanku. Dan dia nungguin di sana. Apa boleh gabung makan di sini?"

Si cowok ini menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya gak terasa gatal. Tersirat beban berat muncul usai aku menanyakan perihal absurd padanya.

"Tapi, kalo mas keberatan, gapapa lho. Nggak usah. Biarin aja dia nungguin."

Setelah memesan menu, si cowok cool ini duduk dengan santai berhadapan denganku. Dag dig dug rasanya, tapi beda ketika bersama Rio.

Bodohnya, mengapa aku tak menanyakan nama si cowok ini pada Luki. Ah, memang kita duo gambreng o'on. Satu bodoh di pelajaran, satunya bodoh di pacaran. Sungguh mengenaskan.

"Omong-omong, masalah yang kamu ceritakan itu gimana kelanjutannya, Dek?"

Deg! Aku harus bagaimana, ya Allah. Sungguh kupasrahkan hidup ini padaMu.

Rasa Yang TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang