Ah, sial!Hari ini begitu sial bagiku. Aku tak mendapat jatah makan siang di sekolah karena harus berhadapan dengan kesiswaan. Sebab beberapa hari ini aku absen tanpa memberi kabar. Bukannya lupa—aku sibuk bulak-balik rumah sakit untuk mengurus nenekku. Sambil menahan perutku yang bergejolak, aroma kroket yang digoreng di warung gorengan pinggir jalan mendendangkan irama tentang perut penuh. Siapa tahu bisa diganjal dengan satu buah kroket.
Ah ... kroket panas yang bakal membakar lidahku siap meluncur ke dalam lambung! Aku segera berlari masuk ke dalam tendanya, segera menyuruh paman penjual untuk menyajikanku 2 buah kroket. Ketika tersaji di depan mata, aku lantas menggigit cabai rawit hijau berbarengan dengan kroket. Ah ... nikmatnya ...
Kemudian aku melirik arloji. Wah! Ini sudah waktunya aku menjaga toko. Seraya bergegas, aku tak lupa membayar. Dalam terik siang kota Jakarta, debu menyerang wajahku. Erangan klakson pengguna jalan menjadi melodi yang harus didengar setiap hari. Semacam iringan. Aku tak menaiki angkot di tengah macet begini, teringat betapa mengesalkannya supir-supir itu kalau angkot masih belum penuh muatan!
Aku berlari. Jantungku berdebar cepat. Ketika detak jantung berdebar lebih dari biasanya, aku selalu mendengar suara ibu. Nun jauh dalam diriku, barangkali dalam aliran darahku suara ibu terngiang. Maka aku tak sudi menutup telinga, susah payah menyingkirkan bunyi-bunyian di sekelilingku demi menjaga suara ibu. Walau napasku tersendat, aku masih tetap berlari. Aku sudah berpeluh keringat dan jarak toko yang harus aku jaga masih delapan ratus meter lagi.
Tidak boleh dipaksakan. Aku kecapekan. Aku duduk di pinggir jalan sambil mengatur napasku. Jantungku masih berpacu, tubuhku menghangat kemudian aku mendongak. Langit biru berbicara bahwa esok akan sama seperti hari ini. Tapi pikiran berkata bahwa besok akan mengantarkan pada sebuah cerita lain. Walau esok akan cerah dan riang seperti ini, belum tentu aku akan menjadi bagiannya. Tetapi memangnya aku biaa memprediksi masa depan? Aku tidak melanjutkan berlari. Berjalan saja sambil menapaki jejak-jejak lain dalam kehidupan. Walau baru enam belas tahun tinggal di bumi, kenahasan menimpaku sejak bayi.
Namaku Maesa. Maesa Gemintang. Cahaya-cahaya yang dipersatukan. Nama yang berkilap sekali, bukan? Tapi kenyataannya aku tidak berkilap, atau barangkali aku meredup sejak ayah memilih menikah lagi dan memilih tinggal dengan keluarga barunya daripada melanjutkan hidup dengan ibuku yang telanjur gila. Namun aku tak ada pilihan dan tidak bisa menentang. Aku terkadang suka sedih melihat ibu berpandangan kosong dengan kaki diikat rantai besi. Kedua tangannya diikat pula dan diasingkan di dekat kandang sapi. Sama sekali tidak memanusiakan manusia bukan? Padahal ibu adalah manusia—seorang manusia yang melahirkanku. Gelarnya pun "Ibu". Tetapi mengapa ibu diikat seperti hewan?
Aku yang masih kecil bertanya-tanya. Tapi tak ada jawab yang memuaskanku. Aku tak malu mendekati ibu di dekat kandang sapi, menyuapinya makan walau seringkali keluar ingin muntah. Sebab bau kotorannya ampun sekali! Aku tidak tahan!
Dan ibu meninggal bunuh diri saat dia berhasil keluar dari jeratnya itu. Ibu menabrakan diri saat ada motor melintas cepat di daerah permukiman kami. Aku melihatnya sangat jelas dan trauma itu tercetak dalam memoriku. Terukir di atas batu, dan sulit dihapus. Butuh waktu lama untuk pada akhirnya berdamai dengan hal itu. Sebab kematian bukanlah perkara mudah bagiku. Kematian adalah hal kompleks yang pertanyaan dan jawabannya berliku. Kematian bukanlah sebuah hal yang bisa dianggap enteng. Bagiku kematian adalah sebuah petaka besar—dan kematian senantiasa berada di belakangku. Jujur saja aku takut dengan kematian, tapi ya aku sejatinya makhluk hidup yang akan merangkul kematian. Hanya—aku berkata karena aku tidak sanggup melihat kematian.
Aku tinggal bersama nenek pada akhirnya. Nenek memiliki toko alat tulis yang lumayan laku. Aku disuruh menjaganya selagi memiliki waktu luang biar ingatan tentang ibu sedikit-sedikit tidak mempengaruhi pikiranku. Walau nenek agak sedikit menyebalkan, tapi dia amat menyayangiku. Dia tidak pernah menyinggung ibu, ataupun tentang kematiannya yang tragis. Sekali-kalinya nenek pernah berkata bahwa dia merasa geram terhadap menantunya (ayahku) yang memperlakukan ibuku tidak sebagai manusia. Mengapa dia merantai kaki ibuku dan dibiarkan satu kandang dengan sapi? Marahnya. Aku tidak bisa berkata, dalam hati aku bersungut mengapa baru sekarang nenek ingin bertindak? Namun sudahlah ibu sudah tidak ada lagi di sini. Ibu cuma bisa ditemukan bila nenek memegang dadaku. Ketika jantungku berdetak untuk memompa darah, di sanalah ibu bersemayam. Dalam kedamaian abadi yang disebut kematian. Atau kesamaan yang disebut darah daging yaitu aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
On the Sunny Side of Street
Teen FictionMaesa Gemintang mendapatkan amplop berisi sebuah surat ketika membuka jendela kamarnya. surat itu terlempar dari sebuah atau mungkin seseorang. ketika dibuka, isi surat itu merupakan suatu ungkapan dan banyak pengakuan dari orang yang mengiriminya s...