Lebih daripada yang aku kira, aku tak memiliki alasan kenapa aku melangkah ke ruang seni. Aku mengetahui sekali jika di sana kelas Aden sedang ada pelajaran melukis—atau semacamnya. Tetapi aku tak bisa mengontrol diriku. Semacam aku berjalan begitu saja mendekat ke sana tanpa pikiran, tanpa rencana, dan tanpa aba-aba. Mengapa semua menjadi begini? Kemudian aku mengintip pada jendelanya, pandanganku menyusuri tiap-tiap wajah asing di sana. Wajah yang aku cari belum muncul di pandanganku. Aku coba sekali lagi, dan ... itu dia! Aden memunggungiku. Dia menghadap kanvas yang kemarin-kemarin aku berikan. Lalu masalahnya, sampai berapa lama aku berdiri diam mematung di depan ruang seni?Aku bergerak beberapa langkah ke dekat pintu yang sedikit terbuka. Diam-diam melirik ke dalam, namun Aden terhalang. Aku menundukkan kepala, menatap sepatuku dan pergi dari sana. Aku berjalan melewati beberapa bangunan, termasuk lapangan yang di sana tengah ada match voli kelas lain. Kemudian aku melewati laboratorium dan berakhir di kelasku kembali. Menatap kosong pada seonggok buku puisi Aku Bukan Binatang Jalang bekas tadi pagi pelajaran bahasa Indonesia. Ah, apa yang harus kukatakan pada Aden jika aku ingin segera memetakan beberapa pertanyaan atas kemisteriusan surat-surat anonim itu? Aku kepalang diam sebab aku harus selalu sadar diri. Aku harus menjaga perasaan pacarnya Aden—mestinya aku begitu, namun entah kenapa jengah hati menolak untuk memahami posisiku.
Apakah ini yang dikatakan "menyukai secara sepihak"? Bahkan Aden kukenal belum sebulan lamanya, masa dengan mudah aku telanjur menyukainya? Konyol sekali. Aku menatap ke arah jendela, tirai langit masih melukiskan awan-awan tercerai berai—kumolonimbus bergulung di sisi kanan, memadatkan koloni dan menyerap air—sebentar lagi hujan datang, begitu tabuh angin menandakan air mata hujan segera menitik pada bumi, serdadu perindu riak menyerang hati yang setengah pilu. Bukankah aku ingin mengejewantahkan sesuatu? Aku berdiri dari dudukku. Keluar kelas dan berlari. Ya, aku akan mengatakan kepada Aden tentang keinginanku sendiri. Aku akan menatap matanya!
Setelah sampai, di ruang seni kosong. Pintunya tertutup dan aku mengatur napas di depan pintu tertutup itu. Hatiku tak karuan, perasaanku terombanh-ambing. Dalam sulur pikiran yang bercabang, barangkali aku harus mendekat ke kelasnya. Tetapi—akan tetapi bagaimana jika pacarnya tengah ada di tempat yang sama? Bagaimana nantinya kehadiranku di situ? Aku akan menjadi perusak bagi kebahagiaan orang lain.
Aku berjalan berbalik dengan lunglai, memegangi kepala dan mendongak ke atas; ya, kumolonimbus benar hendak menurunkan air matanya; kelabu muram menghiasi pelupuk mataku yang sendu. Suara-suara hendaknya melandai ke telingaku, namun aku tak menerima berbagai macam suara yang terjadi. Aku sibuk dengan suara-suara yang timbul tenggelam dalam rimba paling dalam: sisiku yang lain berusaha menyalakan lentera atau lilin atau apa pun yang bisa menerangkan jalan pikiran. Mengapa aku menjadi begini? Perkara aku mengetahui bahwa Aden telah memiliki pacar?
Kemudian langkahku terhenti. Sebuah tubuh menghalangi jalanku. Aku menengadahkan kepala. Kudapati Aden tersenyum tengil sambil berkata;
"Kenapa tidak memberiku kabar mengenai surat baru dari anonim itu? Ini sudah hari Kamis. Aku menunggumu." Ucapnya. Suaranya terngiang lama dalam diriku. Aku sempat hilang kesadaran beberapa detik.
"Ah," aku tergagap. Tiba-tiba seseorang mencuri seluruh perbendaharaan kata milikku.
"Aku mencoba mengukur jarak dari rumahmu ke stasiun yang dimaksud," lanjutnya. Aden mengajakku berjalan. Kami mengarah ke kantin. "Aku naik motor CB punya Bapakku, dan mencoba sesuai apa yang dikatakan di surat itu." Aden langsung melipir untuk membeli minuman dingin. Aku mengikutinya di belakang. Tidak menatap sekeliling, tidak pula menatap Aden balik. Aku hanya tertunduk dari semenjak Aden mengajakku jalan.
Sembari memberiku satu minuman dingin, Aden melanjutkan dan kami duduk di salah satu kursi di bagian sudut kantin. Dia menenggak setengah dari minuman itu. "Aku menemukan stasiun itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
On the Sunny Side of Street
Teen FictionMaesa Gemintang mendapatkan amplop berisi sebuah surat ketika membuka jendela kamarnya. surat itu terlempar dari sebuah atau mungkin seseorang. ketika dibuka, isi surat itu merupakan suatu ungkapan dan banyak pengakuan dari orang yang mengiriminya s...