Malam di Sebuah Bantal Batu

57 1 0
                                    


Begitu saja hari-hari terlewat. Setelah aku menyaksikan sebuah potongan drama televisi antara Aden dan pacarnya itu, kami tak saling bertemu. Aku tak ingin mendekatinya juga. Aku takut hal-hal fitnah dikaitkan padaku karena aku terlalu dekat dengan Aden. Padahal aku ingin sekali memberitahunya bahwa ada petunjuk lain dalam surat baru yang dikirim anonim itu. Namun sudahlah, orang-orang tak bisa menetap lama sesuai keinginan, dan kita tak bisa memaksakan supaya mereka tetap berada di samping kita. Jadi memang benar, hidup seperti air mengalir saja, maka hidup terasa lebih gampang.

Aku mengetuk-ngetuk jari dengan bosan di atas etalase toko. Siang ini begitu lambat, aku hanya membaca plat-plat sepeda motor yang datang-pergi di toko grosir depan tokoku. Langit membentang biru muda dan arsiran awan nampak serampangan yang dilukiskan Tuhan. Angin berdesir mengirimkan nada lulabi untuk tenggelam dalam siesta. Tetapi Hairul belum datang, terus aku lupa bahwa si Hairul izin tidak masuk karena ada keperluan mengurus ternak kambing pamannya di kampung. Jadi selama seminggu ini aku menjaga toko sehabis sekolah dan pendapatan tentu turun karena aku membuka toko di pertengahan siang. Ah, apakah perlu aku merekrut pegawai baru?

Ketika aku memikirkan hal itu, suara derap sepatu kets terdengar membangunkan semua bel dalam diriku. Aku segera memasang wajah segar nan ceria demi menyambut pelanggan. Tapi balasan dari si pelanggan itu tidak sepadan dengan usahaku membunuh kantuk.

Pelanggan itu seorang laki-laki berbadan tinggi. Dia menggendong di punggungnya sebuah tas ransel besar yang nampak segala ada di dalamnya. Dia mengenakan topi bundar berwarna cokelat tua yang compang-camping. Mengenakan kemeja flanel belel dengan dalaman kaus polos abu-abu yang terdapat noda cokelat di sekitar kerahnya. Tangannya besar, bulunya lebat pula. Aku tak bisa melihat jelas wajahnya karena tertutup masker hitam dan matanya dibingkai kacamata hitam. Benar-benar seperti teroris ataukah buronan? Aku tak ingin menebak-nebak namun laki-laki ini amat misterius.

Aku hanya bisa diam membisu sembari memandangi kuku-kuku jari kananku. Sekali-sekali aku tengokkan kepala kepada si laki-laki itu yang tengah serius melihat deretan alat-alat lukis. Sepertinya dia senang melukis, batinku. Setelah sekian lama memandangi deretan alat lukis, oleh ekor mataku dia berpindah ke arah tempat buku-buku. Dia mengambil sebuah buku catatan bersampul merah bata, berjalan ke arahku.

"Hanya ini, Pak?" Aku berkata sambil memindai barang beliannya. Seraya aku masukkan ke dalam kantong kertas, dia menyerahkan uang dan kulihat dia membuka kacamatanya. Aku tatap sebentar sorot mata laki-laki ini.

Seusai mengambil kembalian dan laki-laki itu pergi, pikiranku terpenjara oleh sorot mata itu yang membawaku pergi ke sebuah masa di mana aku tak ingat pernah menjejakinya. Aku serasa pernah—atau sering melihat mata itu tetapi ingatanku rusak atau tidak tau di mana ingatan ini berasal. Perasaanku menjadi tidak enak, aku lantas menutup tokoku.

Seingatku, jika itu ayah bajinganku, dia tak memiliki sorot mata demikian. Jika itu Aden (?) Mana mungkin itu Aden, aku terlalu mengada-ada. Lantas siapakah lelaki tersebut?

Aku berpindah tempat dari kasur ke atas kursi di meja belajar. Membuka laci dan mengambil semua surat dari pengirim anonim itu. Banyak tanya membuai dalam diriku, tapi aku payah untuk memecahkannya satu per satu. Namun ada pertanyaan yang tanda tanyanya lebih besar dari pertanyaan-pertanyaan lain. Yaitu, dengan atau maksud tujuan apa seorang anonim itu mengirimkan surat-surat kepadaku setiap Sabtu sore? Apakah si pengirim memang salah alamat? Seharusnya jika salah alamat tidak dikirim ke alamat sama berkali-kali, bukan? Ah, aku tak ingin memikirkan hal kompleks ini sendirian.

Berangkat aku mendekati telepon di ruang tamu. Menekan nomor rumah Aden dengan maksud aku ingin memintanya datang ke rumahku besok. Aku tak mau digigit penasaran sendiri. Tetapi teleponku tidak diangkat. Aku memandang telepon itu dengan perasaan carut-marut.

On the Sunny Side of Street Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang