Demikian Selepas Hujan Reda, Langit Berdendang

58 0 0
                                    


Hujan merintik sedu pada kaca jendela rumahku. Toko sudah kututup sejak pukul empat sore. Hairul meninggalkan sebungkus nasi warteg untuk aku makan malam. Namun hari Jumat ini telah lewat pukul setengah sepuluh. Jarum terus berdetak, aku masih memainkan tombol di walkmanku. Madonna terus menyanyikan lagu sama, melodi sama, lirik sama. Aku menggumamkan berkali-kali, mengikuti nadanya, bernyanyi kecil dan berharap hujan segeralah berakhir. Aku menjadi teringat banyak hal.

Sewaktu aku kecil, kala Ibu masih sehat jiwa, raga serta pikiran, ketika hujan datang, Ibu duduk sambil merajut sweter buatku. Ibu bernyanyi tentang hujan, hujan pergilah jauh agar pelangi datang, seraya mengusap kepalaku yang sibuk meminum susu lewat dot. Aku kangen Ibu, betul. Sambil menghela napas, aku membawa sebungkus nasi warteg itu dan dimakan dengan tak berselera. Semua rasa menjadi hambar kala melewati lidahku. Semua menjadi basa, bahkan seluruh ruang di mulutku kering jadinya. Jendela terus mengalirkan air hujan, suara tik, tuk, tik, tuk berulang-ulang di atas kepalaku.

Aku meminum air di dalam gelas di atas meja makan, seraya meminumnya, aku ingat dengan tampang pacar Aden yang amat cantik dan tinggi itu di kantin. Aku masih belum mengetahui namanya, namun apa jadinya jika hatiku merasa ada yang salah ketika melihat mereka berduaan. Padahal itu wajar, kan? Aden dan pacarnya itu adalah 'pasangan' dan normal bila mereka berinteraksi seintim itu, kan? Mengapa aku harus merasa ada yang salah? Aku tidak berhak untuk seperti itu.

Sepanjang di sekolah aku memikirkan hal konyol tersebut. Kesal sekali sebetulnya, mengapa aku mesti tiba pada perasaan membingungkan ini. Aden hanya sebatas orang yang kukenal tak sengaja ketika di rumah sakit. Dan dia duluan yang memperkenalkan nama. Kami berbagi rahasia kecil bersama. Sebatas itu. Kenapa pertemanan antara perempuan dan laki-laki mesti dibarengi perasaan lain juga? Aku ingin menghilangkan rasa itu biar aku tak gugup ketika berhadapan dengan Aden. Kami memiliki misi rahasia dan berniat buat memecahkannya.

Setelah memberesi sisa makanku, aku masuk ke dalam kamar membawa serta walkman-ku yang masih memutar lagu La Isla Bonita untuk yang entah ke berapa kali. Aku menyimpan walkman itu di atas meja belajar, kemudian membuka laci dan mengambil surat-surat dari pengirim anonim itu dan membacanya kembali. Siapa tahu aku menemukan petunjuk lain yang aku lewatkan.

Aku menghela napas. Tak ada. Isinya tidak berkurang atau berlebih. Aku biarkan surat-surat itu di atas meja dan memindahkan lagu ke selanjutnya. Di pertengahan lagu True Blue, telepon berdering di ruang tengah. Aku segera bergegas ke sana seolah-olah itu telepon dari rumah sakit untuk mengabarkan keadaan nenek padaku. Ketika diangkat, suara batuk seorang remaja laki-laki terdengar. Aku mengerutkan dahi. Lalu mengembuskan napas pelan. Ah, aku lupa, tidak akan ada lagi telepon dari rumah sakit buat mengabari nenek.

"Apakah aku menghubungi kediaman Maesa Gemintang?" suara Aden terdengar konyol bagiku. Aku diamkan saja dia berbicara sendirian, selagi aku mengatur diriku sendiri buat terdengar biasa saja.

"Halo, halo, Maesa? Apakah kamu masih di sana? Maaf menghubungi malam-malam, tetapi aku mau pesan bisakah kamu membawakanku satu set cat lukis dan kanvas?"

Aku tidak boleh diam untuk urusan jual beli. "Apaan sih kayak berbicara sama robot aja ..."

Aden terkekeh-kekeh.

"Besok tolong bawakan ya Maesa. Mohon maaf banget soalnya aku ada tugas lukis dari guru seni budaya. Tadi siang gak sempat beli karena banyak urusan." Aden menjeda pembicaraannya, dia terdengar menarik napas. "Pas nanti diantar ke kelasku aku akan bayar beserta dengan ongkos kirimnya."

"Oke," aku terdiam sebentar. Masih menempelkan telepon di telinga. Sejujurnya aku ingin mendengarkan suaranya lagi. "Kamu kelas apa?"

"Sepuluh sosial dua." Jawabnya.

On the Sunny Side of Street Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang