Tetapi Dunia Tetap Berputar

53 0 0
                                    


Babak Satu

Kau mengira ini akan berakhir sampai di halaman yang kau pegang. Sayangnya tidak. Aku masih asyik mengarungi kenangan bersamamu, dikungkung sebuah rasa lama yang bersemi. Bagai menumpahkan secangkir cairan merah muda, kemudian membesar hingga menjadi sesuatu hal paling kompleks yang disebut cinta.

Andai kata bila ini tak sampai ke tanganmu, biarlah kata-kata ini sampai pada siapa saja di muka bumi. Bahwa tertulis jelas aku amat menyayangimu, dari lubuk paling dalam jiwaku. Kuakui saja bahwa saat itu adalah masa paling indah, menawan, dan hanya dihiasi tawa serta senyummu. Langit berseri-seri, namun kadang muram tatkala musim penghujan. Suara dawai menyela keintiman kita akan saling tatap tanpa bicara. Semua yang dilakukan bagaikan melukis puisi.

Tempat kita membagi penyuara telinga untuk sama-sama mendengarkan musik di bawah pohon tabebuya halaman rumahmu sembari menggambar dessin sangatlah indah untuk dikenang kala malam. Aku sendirian menatap jendela di kamar indekosku, mengulang lagu yang kita dengarkan dengan perasaan haru. Rindu tenggelam pada cahaya muram, gelap mencekam menjadikannya cemas tak bersisa. Aku hanya mampu mengenang, untuk kembali pada masa itu adalah kemustahilan bahkan sebuah kenihilan.

Apakah kau kecewa karena apa yang pernah dimiliki tak  pernah lagi kembali? Seperti aku yang ingkar padamu kemudian balik menyumpahiku berengsek karena hal ini? Aku pun bertekuk sebab tak memiliki alasan untuk menjelaskan. Terdiam dan tersungkur. Tersudut seraya memikirkan agar kita bisa lebih baik. Namun aduhai susahnya sebab kita telah terpisah.

Jarak membentang dan kau mungkin lupa arah pulang. Berjalan tiga jam, melewati enam stasiun, "Inilah rumahku, tempat tinggalku."

Ada pohon tabebuya kuning yang menjadi favoritmu. Masih berdiri di halaman rumahmu yang kuning itu. Menghadap pada timur, tempat terbitnya matahari yang kau suka itu.

Ah, sekali lagi kau pasti melupakan semua. Rangkaian ingatanmu sudah pecah di belakangmu kala kau berjalan menjauh darinya.

Tapi tenang saja, Sayang. Aku akan membantumu, aku akan mencari rangkaian-rangkaian yang pecah dan tercecar di belakangmu itu.

***

Aku mengembuskan napas pada kaca jendela angkot yang ditumpangi. Sudah hampir sepuluh menit aku ada di dalamnya dalam perjalanan menuju sekolah. Kemacetan harus ditelan bulat-bulat dan tidak bisa mengeluh karenanya. Manusia di kota ini semakin banyak, dan menjadikannya sesak. Aku betul-betul lelah harus mengulang hari yang sama. Kegiatan sama yang monoton.

Sejak nenek meninggal, gairah hidupku terkuras setengahnya. Menjalani hari-hari seperti biasa terlihat berat, tetapi aku harus menjalani hal itu sampai entah kapan. Pikiranku masih saja mengulang tentang surat itu, dan isi di dalamnya yang begitu memuja seseorang yang dituju. Aku masih memetakan teka-teki, dan ingin sekali mengetahui siapa orang yang iseng mengirimkannya padaku. Lagi pula, mengapa tiba-tiba harus dikirimkan padaku? Aku sama sekali belum pernah mengemban semacam asmara seperti itu. Belum pernah juga bertemu lelaki yang bisa membuatku kepikiran setiap hari. Ah begitu aneh kalau dipikir-pikir.

Gerbang sekolahku terlihat, aku mengatakan berhenti dan turun dari dalam angkot. Berjalan ke dalamnya dan menjalani kegiatan sekolah hari ini sampai akhir.

Ketika istirahat, di kantin aku bertemu dengan si lelaki pasien yang bercerita tentang kenahasan hidupnya. Dia melihatku jadilah kami berkenalan saat itu juga. Namanya Den. Aden Angkasa. Dia berkata masih menjalani pemulihan dan tangannya masih dibalut perban. Aku mengangguk-angguk, kemudian dia berkata lagi, "Kesedihanmu bukanlah hal untuk bisa ditangisi seluruh penduduk bumi. Meski hidupmu menjadi pailit, tapi dunia tetap berputar. Orang-orang melewatimu dan satu hal yang perlu kamu ingat, jangan menyerah di awal. Soalnya nanti bakalan menyesal. Sebab banyak kesempatan menantimu."

On the Sunny Side of Street Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang