Perihal Menjalani Hidup, Bagaikan Mencari Bilangan Habis Dibagi Satu

45 0 0
                                    


1+1 kadangkala bukanlah hasilnya menjadi dua. Bisa saja menjadi lebih, atau mungkin 1+1 hanyalah 1+1 saja tidak ada hasil dari pertambahan. Kalau bisa, aku ingin balik kembali untuk pertama kalinya paham bahwa 1+1 adalah 2. Namun setelah tahun berlalu dan pikiranku berevolusi atau mungkin terpengaruh sebab banyak hal terjadi, diriku limbung untuk memercayai bahwa hasil dari 1+1 adalah 2.

Kematian berdampingan dengan kehidupan. Begitu suatu ketika seseorang berkata pada semua orang. Bahwa kematian bukanlah hal yang asing. Setiap hari di belahan dunia ada yang lahir dan mati. Namun kematian memiliki kesan kesedihan luar biasa, seluruh jagat raya milikmu akan habis bila dirundung duka mengenai kematian.

Sudah sepuluh menit berlalu sejak nenek kembali mengalami henti jantung, dokter terpaksa melepas kedua tangannya dari atas dada nenek. Suara tiit bergaung panjang mengisi keheningan ruang ICU. Dokter berpeluh keringat, menatap putus asa pada layar elektrokardiograf. Dokter lain yang tengah mengintubasi melepaskan tangannya dan membiarkan nenek pergi. Aku sebagai walinya cuma terdiam menonton itu semua. Kedua dokter itu menunduk, berat kala mengatakan waktu pasien mereka meninggal dunia.

Aku tidak bisa menangis. Dokter yang mengatakan waktu nenek meninggal dunia terasa menghunus jantungku. Aku dirangkul seorang perawat untuk keluar ruangan, menandatangani entah apa dan dari kejauhan, melewati kaca jendela ICU, aku melihat seluruh tubuh nenek diselimuti seprai putih. Dia dibawa ke ruang jenazah. Aku membeku ketika ranjangnya melewatiku.

Ah, sekarang aku sendirian lagi. Menelan semua tanpa bisa merengek. Tak ada tempat mengadu, bagaimana bisa aku mengadu? Tak ada orang yang akan mendengarku. Seraya menjejal penyuara pada telinga, aku menekan tombol putar pada walkman. Lagu Madonna kembali terputar, Hung Up seakan berirama melankoli. Pelan-pelan, air mata jatuh pelan dari mataku, sesak tiba-tiba menguasaiku. Di atas kursi di ruang tunggu pasien, aku memaknai tentang kepergian seseorang. Kepergian selamanya yang hanya bisa dikenang. Berpikir muluk bahwa mereka akan kembali adalah suatu hiburan murahan, aku tak sanggup menatap esok yang pasti suram. Walaupun aku pernah mengalami kehilangan juga, kehilangan kali ini berbeda. Aku menekan tombol henti pada walkman-ku. Berdiri dari dudukku dan berjalan keluar rumah sakit.

Rembulan menggantung bisu pada langit abu-abu. Tak satu pun bintang keluar, malahan kebisingan tak berarti terngiang pilu di dalam telinga. Ketika menangis kembali, seseorang menepuk pundak. Aku menoleh, seorang dokter magang yang tadi melakukan resusitasi bergantian dengan dokter spesialis, berdiri di sampingku. Dia seorang laki-laki, tinggi, dan bersih. Berkacamata bingkai hitam dan rambut yang dipotong pendek. Dia merogoh saku jas putih dokternya, menyodorkan padaku sebungkus permen mint.

Aku menerimanya. "Apa Dokter pernah merasakan kehilangan juga?"

Dokter itu terdiam. "Pernah."

Aku tak ingin melanjutkan pembicaraan. Kubiarkan dokter itu hingga dia pergi dari sisiku. Aku kembali menatap rembulan bisu itu. Kemudian aku pulang untuk mempersiapkan pemakaman nenek.

Ah, pemakaman. Begitu aneh ketika diucap.

***

Babak Satu

Dandelion bermekaran di alang-alang dekat sungai. Permukaannya tepercik sinar senja, berkelip mirip gemintang pada malam yang berisik. Kepala tak mau berhenti ketika membicarakan tentang elegi. Berjalan-jalan di atas kemuraman, bercengkrama harum nan mempesona. Kemudian, ketika segalanya merekah, dandelion terpisah. Terbang pada tujuan masing-masing, diembus angin musim kemarau yang kering. Suara parau memanggilmu, namun amatlah asing bagi hatimu. Tatkala malam menikam, hati gundah memikirkan di mana tempat untuk menyalakan cahaya. Dilingkup gelap, kau pun cemas. Menata diri untuk naik pada tempat bercahaya.

Babak Satu.

Kau pun berpeluh keringat.
Berjalan sekitar tiga jam, melewati enam stasiun kemudian berhenti. Kau berkata, "Inilah tempatku. Tempat tinggalku."

Alang-alang di pesisir danau masih merayu angin. Bercengkrama budak kecil dengan dandelion yang mekar. Dihirupnya napas dalam-dalam, dikeluarkan secara terang-terangan, dandelion pergi terbang mendarat pada siapa pun yang tak dikenal.

Suara perlahan menghilang. Kau tak gentar, berlari mengikuti arah cahaya matahari senja.

Babak Satu.

Pemakaman nenek telah usai. Semua kerabat pergi dari rumah. Meninggalkan aku sendiri memeluk samping yang menutup nenek. Begitu heningnya sampai-sampai suara jantungku terdengar. Ah biarkan begini saja, jadi aku tidak sendiri. Ibu ada di situ, kali ini berdua bersama nenek.

Pria yang kupanggil ayah itu tidak kemari. Padahal mantan mertuanya mati. Bagaimana bisa dia tidak peduli? Apakah tidak berpikir jika aku akan hidup sendirian? Aku mencengkeram erat ujung bantal yanh aku tiduri. Muak mendengarkan tentang kenestapaan. Namun, perihal menjalani hidup, bagai menemukan jawaban ambigu. Apa sebaiknya hentikan di sini dan ikut bersama ibu dan nenek saja? Bertiga mendapat ketenangan pada suatu tempat yang tidak ada di bumi. Ah, jangan. Bagiku, kehidupan yang tersisa ini adalah jawaban bagiku untuk lebih mensyukuri apa yang terjadi. Jadi, daripada aku tenggelam pada kesedihan, lebih baik menengok kembali surat yang dikirim seseorang dua hari lalu itu.

Sementara sore yang mafhum mencabik-cabik pangkal kerinduan, kau memikirkan perihal kehidupan yang tak bisa diambil jawaban secara genap. Kasarnya seperti bilangan yang tak bisa dibagi satu. Begitupun hidup hanya satu mati pun hanya satu.

Ruangan kedap dan usang yang kau panggil hati itu mulai membuka dan bertata. Siapa sangka dia akan menatap kemudian mematahkan. Tumbuh menjadi parasit dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Ketika semua tak berpihak, kau menyalahkan diri.

Masih ingat tentang bau apak dan kamper lemari tua pada siang di mana kita bermain-main? Kau berkata ada lontar berisi mantra ajaib yang bisa mengantarmu pada kesaktian hidup. Aku tertawa sebab itu mustahil terjadi di dunia di mana fakta menjadi tonggak kepercayaan.

Coba cari-cari kembali tentang kepingan yang hilang. Susun kembali sekrup-sekrup yang berjatuhan. Barangkali ingatanmu tak ingat, namun aku ingat jelas tentang senyummu, kehangatan yang menghangatkan diriku, keceriaan seperti menyambut pagi. Aku ingin bertemu kembali denganmu, menghadiahkanmu peluk paling hangat, kecup paling intim, dan debar paling mengesankan.

Aku merasa, ini sebuah catatan yang hilang. Begitu aku berpikir sehabis membacanya. Aku masukkan kembali surat-surat itu ke dalam amplop, menutup jendela kamarku dan turun ke bawah untuk membuka toko. Sudahi muramku, aku siap menghadapi hari!

Mungkin nenek tidak akan kembali, tapi akan aku pastikan bahwa aku akan menjalani kehidupan ini tanpa bertanya-tanya.

***

Hehehehe, semoga suka ya!

Bab 3 nya nanti kalau luang malem bakal apdet

Tengkyu!

Sal XX

On the Sunny Side of Street Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang