Warga desa Kojo tampak berkerumun disebuah rumah kecil bertembok bambu yang dianyam, kondisi malam hari dengan beberapa lampu remang-remang yang berada tepat diteras rumah.
Dalam sebuah bilik, terdapat kakek tua tengah terbaring lemas dengan beberapa pria yang sedang berkerumun. Semua menunjukan raut wajah sedih, mengapa tidak, orang yang menjadi sesepuh desa tersebut kini terserang penyakit yang konon susah untuk disembuhkan.
"Bagaimana ini Mbah?" pria dengan postur tinggi berkulit putih itu memohon kepada pria paruh baya yang sedari tadi memegang kepala kakek tua itu.
Mbah Nursam hanya menggeleng dengan mengerutkan dahinya, perasaan tak mengenakan kondisi Mbah Sanawi terus menerus melemah.
Mbah Nursam tampak menyibak baju lengan panjang milik Mbah Sanawi yang memang menutupi lengan miliknya, ia terkejut melihat tulisan Arab dengan tinta berwarna hijau tua.
"Opo kui Mbah?"
Lagi-lagi Mbah Nursam tak menjawab, ia masih teliti membaca lafadz Arab itu, dengan mulut yang terus berkomat-kamit. Dahinya tambah berkerut, matanya kini sedikit memerah. Kini ia menutup kembali lengan Mbah Sanawi itu. Lalu melangkah mundur dan menatap pria tinggi itu, yang sedari tadi memberinya pertanyaan.
"Piye Mbah? Opo penyakit bapakku?"
Mbah Nursam menunduk lalu menepuk pundak pria muda itu yang diduga bernama, Lukman. Mbah Nursam menggeleng pelan, dengan mata yang masih memerah, sedikit membendung air mata yang hendak keluar.
"Mari keluar sebentar." Mbah Nursam kini menggandeng tangan Lukman itu menuju bilik depan.
" Mbak Nar, tungguno bapak nang njero kamar, aku karo Mbah Nursam enek kepentingan."
Narti, anak perempuan Mbah Sanawi masuk kedalam bilik untuk berganti menjaga bapaknya.
**
Duduk bersila, diatas dipan dengan alas dari anyaman daun kelapa kering. Tampak serius menatap empat mata. Mbah Nursam beberapa kali menarik napasnya dalam-dalam untuk mengatakan sesuatu hal yang sangat penting untuk keselamatan Mbah Sanawi.
"Piye Mbah?"
Mata Lukman terus menatap mata Mbah Nursam tampa berkedip, kedua telinganya sudah siap untuk mendengarkan penjelasan dari sang Mbah Nursam.
"Bapakmu sebenarnya nggak ada penyakitnya, dia ini hanya diserang oleh seseorang."
"Maksud Mbah? kayak ilmu santet?"
Mbah Nursam mengangguk pelan dengan sekali menelan ludah kasar.
"Nggak mungkin Mbah, bapakku punya susuk penangkal santet atau orang yang mau jahat." Lukman bersikeras bahwa bapaknya tidak mungkin terkena ilmu santet itu.
"Di lengan kanan bukan? yang tadi Mbah buka, yang ada lafadz Arab itu?"
Lukman mengangguk pelan, ternyata Lukman tau menahu hal susuk yang memang sudah digunakkan Mbah Sanawi sedari masih muda.
"Iya, bapak bilang itu untuk penangkal dari marabahaya, jadi pas Mbah Nursam bilang kalau bapakku kena santet, rasanya kurang percaya."
Mbah Nursam hanya tersenyum tipis mendengar ungkapan pria muda ini. Riuh suara warga yang mulai memadati rumah Mbah Sanawi.
"Le, kamu bilang ke warga untuk pulang saja, bilang saja Bapakmu itu tidak kenapa-kenapa."
Kini Lukman beranjat dari tempat duduknya lalu menghampiri warga yang memang sudah berkerumun sedari tadi.
"Pak, Bu, mohon maaf, ini sudah malam sebaiknya kalian semua kembali ke rumah masing-masing, karena bapak saya butuh istirahat." tutur Lukman.
Seketika warga tersebut pergi, kini suasana kembali sepi hanya ada beberapa orang saja.
Mas Yadi, kini menghampiri Mbah Nursam yang masih terduduk diatas dipan. Ia memberi sebungkus rokok dengan segelas kopi hitam.
"Gimana bapakku, Mbah?"
"Tanya adikmu saja, dia sudah Mbah beritahu." jawab singkat Mbah Nursam.
Kini Lukman kembali dan telah mengunci dan menutup semua jendela rumah itu. Duduk kembali bersila.
"Kopiku mana mas? kamu nggak buatin buatku juga?" celoteh Lukman.
"Buat sendiri saja."
"Bapak sama Mbak Narti?"
Yadi mengangguk pelan dengan sedikit menyeruput kopi miliknya itu. Dengan sedikit bertanya perihal bapak sakit apa kepada adiknya itu, alih-alih tak terkejut, kini Yadi sama persisnya seperti Lukman merasa tak percaya dengan apa yang telah menimpa bapaknya itu.
Perasaan tak mengenakan kini Yadi rasakan seperti Mbah Nursam pun tau apa yang memang Yadi rasakan sekarang.
"Jangan terlalu takut, jangan lupa ingatin bapakmu dengan kalimat Allah." Mbah Nursam berucap dengan sedikit menyeruput kopinya.
**
Hening, kini mereka semua berpindah ke bilik yang memang sudah terbaring Mbah Sanawi disana. Tengah disuapi oleh Narti.
"Pak, makan yang banyak." Narti terus bersabar menyuapi bapak nya itu agar terus tetap makan, minimal perut terisi dan sedikit bertenaga.
"Suamimu kenapa nggak ikut nengokin bapak disini?" Yadi kini duduk ditepi ranjang.
"Banyak kerjaan Mas, mungkin lusa baru bisa kesini, kalau Mbak Sri kenapa nggak kesini?"
"Harus jagain anak-anak, belum aku izinin kesini."
Dan hanya Lukman lah yang masih melajang, walaupun kini usianya sudah memasuki kepala tiga.
"Luk-lukman.."
Mbah Sanawi tampak memanggil anak bungsunya itu dengan terbata-bata.
"Cepet, disamperin Le." Mbah Nursam sedikit mendorong Lukman agar cepat menghampiri bapaknya itu.
"Kapan Ndang Rabi?"
Pertanyaan itu lagi, mungkin sudah seribu kali Mbah Sanawi bertanya perihal menikah kepada Lukman, namun jawaban Lukman selalu dengan senyuman tipisnya.
"Semoga cepet di kasih jodoh ya pak." jawab Lukman pelan.
Kini mata Mbah Sanawi tampak memerah dengan bibir bergetar, Mbah Sanawi tak mampu membendung air matanya lagi, ia menangis.
"Pak, jamgan gitu pak. Lukman belum nemu yang cocok saja."
Semuanya hening, hanya sesenggukan tangis Mbah Sanawi saja yang pecah. Semua ikut bersedih, terlebih Mbah Nursam yang masih menjadi saudara dari garis keturunan Mbah Sanawi.
"Lukman, Mbah Nursam ini sama seperti bapakmu, kalau kamu butuh apa-apa bilang saja ke Mbah ya." bisik Mbah Nursam dengan air mata mengucur deras.
Lukman mengangguk lalu segera memeluk bapaknya itu yang sudah lemas.
Namun, kondisi Mbah Sanawi tiba-tiba berubah, matanya kini terbuka sangat lebar dengan mulutnya yang sedikit menganga. Mereka berempat terkejut.
"Mbah Nursam, bapakku, Mbah!"t
Mbah Nursam segera membisikan sesuatu ke telinga Mbah Sanawi, tak lama kemudian Mbah Sanawi kembali sadar seperti semula.
Semua tampak tegang, tangis Narti kini memecah keheningan, kini ia dipeluk oleh Mas Yadi. Lukman masih berasa tepat disamping Mbah Nursam, dengan buku Yasin kecil yang memang ia ambil dari laci dekat dengan ranjang tidur bapaknya.
Ayat-ayat Yasin dibacanya pelan, Mbah Nursam terus berkomat-kamit membisiki telinga Mbah Sanawi.
Bacaan Yasin kini saling sersautan satu sama lain, Narti dan Yadi ikut membacanya juga.
"Pak! Bapak! Mbah, bapak kenapa lagi!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Deso Mayit [ Selesai & Tahap Revisi ]
HorrorSisi kelam di sebuah Desa mistis, yang di juluki Desa Mayat. Karena kematian secara mendadak dan beruntun, mengharuskan para warga setempat mencari tahu akar penyebab dari kematian tersebut. Apa penyebab Desa tersebut di juluki Desa Mayat? Selengkap...