14

394 25 0
                                    

Mbah Nursam masih teliti memeriksa, namun kini ia sesekali menggeleng kepalanya.

"Tolong, pegang kaki Lastri."

Salah satu anak lelaki mbok Lastri tampak memegang kaki mbok Lastri yang terasa sangat dingin itu.

"Kamu disini, pegangi perutnya, bacakan sholawat dalam hati."

Kambali Mbah Nursam memerintahkan anak dari mbok Lastri itu, Lukman masih terdiam ia hanya mengamati. Mbah Nursam kini berpindah tepat di kepala mbok Lastri. Kini ia memegang erat kepala mbok Lastri itu.

Namun, kini Mbah Nursam merapalkan talqin berkali-kali, pertanda mbok Lastri kini sudah berada dalam sakaratul mautnya.

Lukman yang sedari tadi diam, hany bisa membantu melafalkan talqin membantu mbok Lastri.

Suasana mencekam, Lukman berlari di sebuah meja kecil disana ada satu buku Yasin. Ia membacanya berkali-kali dengan tangisan anak-anak mbok Lastri yang tak bisa berhenti.

Tak berlangsung lama, mbok Lastri kini menghembuskan napas terakhirnya.

"Innalilahi wa Innailaihi rojingun."

Tangis anak-anak mbok Lastri pecah di tengah malam seperti ini. Mbah Nursam segera menutup jenazah mbok Lastri dengan kain jarik yang panjang.

"Sabar, yang tabah."

Mbah Nursam menepuk pundak anak lelaki tertua dari mbok Lastri, memeluk serta tangis yang masih sesenggukan terdengar.

**

Prosesi pemakaman dilakukan di pagi harinya, semua berlalu lalang membantu prosesi pemakaman mbok Lastri tersebut.

Ningrum tampak hadir di pemakaman mbok Lastri, bahkan ia terlihat sangat lemas mendengar berita bahwa teman kerjanya itu sudah tiada.

"Jangan terlalu di tangisi, Ning."

Pria tua tampak sedang menyingkirkan Ningrum yang terduduk lesu menangis sesenggukan. Akhirnya Ningrum bangkit lalu berpindah posisi berdiri berjalan pelan, namun tertabrak oleh Lukman yang membawa air basuhan untuk mbok Lastri.

"Mbak, jalan jangan nunduk begitu." gerutu Lukman.

Bola mata Ningrum tampak membulat, mndengar Lukman tampak berbicara tinggi padanya.

"Sepurane mas."

Lukman melirik dengan tajam, hingga membuat Ningrum tampak canggung. Ningrum menutup setengah wajahnya dengan hijab yang panjang itu.

Ningrum berjalan menuju arah tempat pemandian jenazah mbok Lastri, bola matanya tampak mencari sesuatu. Ya, Mbah Nursam, ia tengah mencari pria tua itu.

"Apa ini ulah ilmu penglaris ku?" batin Ningrum.

Namun, sejenak ia berpikir bahwa sudah lama sekali ia tak memberi sesajen untuk ritual penglaris Ningrum pikir ilmu itu sudah menghilang entah kemana.

Lamunan itu memenuhi otak Ningrum sesaat, hingga seseorang menepuk pundaknya perlahan.

"Ning, jangan di tengah jalan. Orang-orang akan membawa jenazah mbok Lastri kedalam, dikafani."

Seketika Ningrum berjalan mundur, ia tak sadar lamunan tadi membuatnya tampak tak fokus.

**

Selesai.

Semua pulang, termasuk dengan Ningrum. Di arah perjalanan pulang, ia terus melamun mengapa aneh betul dengan penyakit yang di alami mbok Lastri sebelum meninggal.

"Penyakit opo ya?"

Ningrum mengendus pelan, kakinya tampak diseret pandangannya tak fokus. Hingga akhirnya tiba dirumah, sudah ada seseorang di teras tengah duduk mengobrol dengan anaknya.

"Siapa dia?"

Ningrum tampak berjalan sedikit berlari. Terkejut, dia adalah salah satu warga desa sebelah, Mbah Sabeni. Segera Ningrum menyalami pria tua itu.

"Mbah, nyapo disini?-- Mbah, kenapa disini?"

Mbah Sabeni tersenyum simpul dengan kerutan wajahnya.

"Sengaja, ingin bersilaturahmi saja."

Ya, sudah setahun penuh Mbah Sabeni tak mengunjungi kediaman Ningrum. Mereka bak bapak dan anak.

"Monggo Mbah, masuk saja."

Ningrum memerintahkan Mbah Sabeni untuk masuk dan mengobrol di dalam ruangan agar lebih nyaman. Ningrum menyuguhi teh tawar biasa pada Mbah Sabeni.

"Monggo, di unjuk mawon mbah.-- Silahkan, di minum saja Mbah."

Mbah Sabeni meminumnya perlahan, hingga ia mengutarakan satu pertanyaan.

"Siapa yang meninggal, Ning?"

Ningrum terduduk dengan membenarkan hijabnya yang berantakan.

"Mbok Lastri, teman kerjaku di pasar."

Napas Mbah Sabeni tampak kembang kempis, matanya membulat. Tangannya meraih blangkon yang terpasang rapi di kepalanya itu, menarik satu kertas terlipat lalu memberinya pada Ningrum.

"Opo Iki mbah?"

Kertas itu dibuka perlahan, tulisan antik khas jaman dahulu, Ningrum teliti membacanya hingga napasnya tampak tersengal-sengal.

"Opo Iki mbah? aku sudah tidak berurusan dengan penglaris itu."

Ningrum membuang kertas tadi dengan kasar, wajah Mbah Sabeni tampak merah padam.

"Iki, seng bakal dadi malapetaka yen koe ora enek tumbal meneh!-- ini yang bakal jadi malapetaka jika kamu tidak ada tumbal lagi!"

Ningrum bangkit, matanya berkaca-kaca, tampaknya akan ada huru-hara setelah kematian mbok Lastri.

"Muliho Mbah! aku ora butuh meneh!-- Pulanglah Mbah! aku tidak butuh lagi."

Mbah Sabeni tampak tersenyum menyeringai, berdiri dan berjalan menuju ujung pintu.

"Yo wes! entenono, warga desa kojo bakal mati sebab ulahmu!-- Ya sudah! tunggu saja, warga desa Kojo bakal mati karena ulahmu!"

Ningrum segera menutup pintu rumahnya itu, berbalik badan meratapi apa yang akan terjadi pada hari hari selanjutnya.

"Bagaimana bisa? jin penglaris mencari tumbal warga, hanya karena aku melupakan sesajen itu?"

Deso Mayit [ Selesai & Tahap Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang