"Ning, kamu Ndak melayat ke rumah Mbah Sanawi?" Wanita paruh baya itu sedang teliti menata bakul pada tempatnya.
"Buat apa mbok, aku malas untuk melayat, aku ini orangnya sibuk banyak kerjaan di pasar." Ningrum wanita muda beranak satu itu menjawab dengan ketusnya.
Wanita paruh baya yang di duga bernama Lastri itu tampak mengendus kesal mendengar jawaban dari Ningrum, pantas saja dia jarang disukai oleh warga disini.
Suasana pasar dekat dengan desa Kojo itu tak ramai oleh pengunjung karena letaknya memang kurang strategis. Tiba-tiba pria dengan postur tinggi dan gemuk itu datang melihat-lihat isi dagangan Ningrum.
"Ning, minta ikan tenggiri sekilo ya."
Pria bernama Karim itu, adalah bos kue di desa Kojo sudah terkenal tajir melintir karena bisnis yang ia lakukan lancar dan sangat menguntungkan.
"Tumben pak Karim beli didagangan saya." Ningrum menggerutu.
"Lho kenapa Ning, kamu nggak mau uang dari saya?" pak Karim itu melempar pertanyaan kembali.
"Haduh bos ini, saya cuma bercanda aja, ini sekilo limapuluh ya bos."
Pak Karim segera merogoh sakunya, mengeluarkan uang pecahan berwarna biru itu tanpa kembalian. Berlalu setelah menerima ikan tenggiri dalam kantung kresek hitam itu.
Wanita baruh baya berkulit putih itu datang dengan hijab berwarna hijau tuanya itu. Memilah-milah sayuran Ningrum yang masih hijau segar.
"Ning, kamu kemarin nggak pergi ngelayat Mbah Sanawi?"
Ningrum menggeleng pelan dengan terus menghitung uang pecahan recehan.
"Kenapa? kalau ada orang meninggal tuh ngelayat Ning, jangan malah sibuk mikirin dunianya sendiri."
Ningrum hanya membalas dengan senyum menyeringai dan mengendus dengan kesal. Kembali ia membuka laci lalu membiarkan uang recehan itu berserakan didalamnya.
"Mbok Wasmi mau beli apa sinih! aku ambilin,"
Ningrum dengan kasar merogoh kantung kresek hitam yang akan ia masukan beberapa belanjaan wanita paruh baya bernama Wasmi itu.
Mbok Wasmi hanya melirik melihat tingkah Ningrum arogan tak mau diberi nasihat olehnya.
"Ini kan? enampuluh ribu ya, mbok Wasmi."
Segera Ningrum memberi sekresek belanjaan mbok Wasmi dengan sedikit kasar, segeralah mbok Wasmi membayarnya lantas pergi meninggalkan bakul milik Ningrum.
**
Suasana pasar riuh dengan berita kematian Mbah Sanawi yang bisa dibilang secepat itu, semua orang tampak membicarakan kondisi Mbah Sanawi sebelum meninggal Dunia, beberapa orang menyayangkan Mbah Sanawi yang terlalu cepat menghadap ke yang maha kuasa, mengapa tidak, hanya dialah yang menjadi sesepuh dan pemimpin desa Kojo itu.
Sampai-sampai wasiat tentang dibongkarnya pelaku penglaris kini menjadi buah bibir masyarakat di desa Kojo itu.
"Siapa yang punya penglaris, yang Mbah Sanawi bilang?"
"Ataukah bos Karim dia kan yang paling tajir di desa kojo."
Desas-desus warga itu sampai ke telinga Ningrum.
"Siapa yang Ning, yang punya ilmu penglaris itu?" Mbok Lastri berbisik pada Ningrum yang tengah menimbang beberapa minyak untuk di jual eceran.
"Mana saya tau mbok, kan mbok sendiri yang rumahnya dekat dengan Mbah Sanawi."
Ya, memang benar adanya mbok Lastri lah yang rumah nya sangat dekat dengan Mbah Sanawi, malah bisa dibilang masih satu petak tanah dengan beliau.
"Mungkin bos Karim mbok, kan dia yang paling tajir di desa kita."
Namun, mbok Lastri malah mengisyaratkan jarinya agar Ningrum diam tak menuduh siapapun. Ningrum hanya menatap heran orang-orang yang tampak sibuk membahas perkataan Mbah Sanawi yang sudah meninggal itu.
**
Dari siang berubah ke petang, bakul milik Ningrum sudah habis terjual untuk hari ini, ia memutuskan untuk menutup kiosnya itu dan segera pulang kerumah.
"Akbar?" teriaknya pada anak sulungnya itu.
"Iya buk,"
Ningrum berhenti sejenak meletakan barang-barang miliknya diteras rumah, Akbar sang anak langsung menghampiri ibunya itu yang terduduk lelah di lantai rumah.
"Bawa kedalam."
Ningrum mengekor Akbar yang membawa semua barangnya itu, duduklah ia dikursi panjang kayu berada di ruang tamu. Menelisik ponsel sudah menunjukan pukul 3 sore. Buru-buru ia memasak untuk makan malam dia dan Akbar, karena mereka hanya tinggal berdua setelah bercerai dari Damar sang suami.
Ditengah-tengah Ningrum memasak, Akbar mengejutkannya karena ana seseorang yang hendak bertamu. Namun Ningrum menolak Akbar untuk menemui tamu itu, karena dia belum menyelesaikan masakannya.
Alhasil Ningrum menyuruh Akbar untuk menemui tamu itu, agar menunggunya sejenak diruang tamu. Namun setelah Akbar membukanya pintu, terkejut bukan kepalang, yang bertamu mirip sekali dengan Mbah Sanawi yang baru saja meninggal kemarin.
"Mbah--, Mbah Sa--nawii??"
Akbar mematung, melihat pria tua itu tersenyum menyeringai tepat dihadapannya, tak berkedip sekalipun, Akbar langsung menutup pintu dan berlari menuju Ningrum, ibunya.
Akbar merengek, menangis, ketakutan setelah pria tua yang mirip Mbah Sanawi itu datang bertamu.
"Enek opo??-- Ada apa??"
Akbar tak langsung menjawab, ini yang membuat Ningrum kebingungan, Ningrum terpaksa mematikan kompornya dan segera menuju ruang tamu. Namun tak ada siapapun disana.
"Nang ndi tamune, Le..-- Dimana tamunya nak.."
Ningrum kembali kebingungan melihat ketakutan anaknya itu, akhirnya ia mencoba melihat keluar namun hanya langit yang akan menuju gelap, tak ada seorangpun menunggu di ambang pintu.
Ningrum kembali menutup pintu lalu segera menguncinya, Akbar masih berada di belakang Ningrum, mengekor, dengan mencengkeram ujung baju ibunya itu.
"Kamu itu kenapa, Le."
Raut wajah tegang Akbar masih menjadi tanda tanya mengapa Akbar setakut itu. Akhirnya, Ningrum memboyong Akbar agar dia tiduran dan main didalam kamar saja.
Ningrum mendudukkan Akbar tepat di tepi ranjang itu, Ningrum berjongkok lalu merautkan wajah penasaran.
"Coba cerita, tadi ada siapa?"
Napas Akbar tersengal-sengal, mencoba mengeluarkan kalimat yang hendak ia katakan pada ibunya itu. Menelan ludah dengan kasar, lalu...
"Tadi, Mbah Sanawi datang buk.."
Ningrum langsung mengernyitkan dahinya berkali-kali, napasnya pun ikut tersengal-sengal, bola matanya tampak bergerak ke kanan kiri. Ningrum melepas genggamannya pada tangan Akbar, lalu pergi keluar.
Mengunci semua jendela dan pintu-pintu rumahnya, mematikan televisi yang berada diruang tengah lalu kembali ke kamar bersama Akbar yang masih terduduk ketakutan.
"Yang benar, Le?"
Akbar mengangguk pelan dengan gigitan pada bibirnya. Merinding, Ningrum menjadi seorang penakut setelah tak bertakziah ke pemakaman Mbah Sanawi itu.
Ada dendam apa, hingga Mbah Sanawi berani datang bertamu disore petang itu, hingga membuat Akbar terus diliputi rasa ketakutan.
![](https://img.wattpad.com/cover/348064116-288-k830789.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Deso Mayit [ Selesai & Tahap Revisi ]
HorrorSisi kelam di sebuah Desa mistis, yang di juluki Desa Mayat. Karena kematian secara mendadak dan beruntun, mengharuskan para warga setempat mencari tahu akar penyebab dari kematian tersebut. Apa penyebab Desa tersebut di juluki Desa Mayat? Selengkap...