18

284 18 0
                                    

     Semua tampak tegang saat pak Juhri dikabarkan meninggal dunia, Lukman tampak berlalu lalang menyiapkan semua air untuk membasuh jenazah pak Juhri.

     Bisikan warga dari warga menyebut bahwa pak Juhri adalah tumbal terakhir dan ini akan menjadi penutupan atau bisa di bilang desa Kojo akan kembali membaik.

     Namun Mbah Nursam selalu memberi isyarat agar tetap diam dan tetap menjalankan kewajiban sebagaimana seorang muslim jika ada seorang yang telah meninggal dunia.

"Man, santai wae."

     Mbah Nursam sempat menepuk pundak Lukman pelan karena kakinya cukup berjalan dengan sangat tergesa-gesa.

     Tak ada Ningrum di kalangan kerumunan warga itu, mata   Lukman membulat mencari-cari sosok perempuan yang menjadi dalang itu, dan menjadi sosok yang telah menyebabkan bapaknya meninggal.

     Lukman menghela napasnya pelan, namun ia terus tersadar tak ingin sepenuhnya menyalahkan perbuatan Ningrum itu, karena satu kesalahan dalam praktik penglaris mengharuskan jin yang bersekutu mencari tumbal karena kelalaian Ningrum.

**

     Semua berjalan dengan tenang dan khidmat hingga matahari tampak akan tenggelam dan langit berubah menjadi malam.

     Lukman membersihkan seluruh tubuhnya dan mengguyur badannya dengan air yang dingin. Serta Mbah Nursam tampak masih terduduk di ruangan depan.

     Lukman selesai, kini giliran Mbah Nursam yang membersihkan diri. Lukman mengambil sarung lalu segera membentangkan sajadah diatas dipan untuk ia melakukan sholat Maghrib sambil menunggu Mbah Nursam selesai, ia sempatkan untuk berdzikir sejenak.

     Mbah Nursam tampak keluar dari kamar mandi dengan merapikan sarungnya yang hendak terlepas, tak lupa songkok yang ia kenakan pula.

"Ayo,"

     Mbah Nursam tampak menjadi imam sholat serta Lukman sebagai makmumnya. Sangat khusyuk hingga akhir salam pada sholat.

     Di lanjutka dengan dzikir pendek lalu berdoa yang di aminkan oleh Lukman. Hening, hingga sesuatu tampak berjalan, derap suara kaki tengah berjalan tepat diteras rumah Lukman.

     Kini dzikirnya terhenti, ia sempat menoleh pada pintu depan. Desir jantungnya memacu, tampak menghela napasnya pelan-pelan, sedikit menghiraukan.

     Kini Mbah Nursam berbalik badan, menyalami Lukman pelan dengan sambutan Lukman mencium punggung tangannya itu.

     Kembali bercerita mengenai pak Juhri yang meninggal karena serangan jantung, namun Mbah Nursam percaya ini adalah korban terakhir untuk ini, dan malam ini akan di laksanakan tahlil untuk malam kedua.

"Harus malam ini Mbah?"

     Mbah Nursam mengangguk pelan, karena jikalau tidak dilakukan secara tiga hari berturut-turut, yang ia takutkan teror itu akan kembali terjadi.

"Itung-itung biar warga sini sadar dengan Tuhan." imbuh Mbah Nursam.

     Lukman kembali menelisik ke arah pintu tadi yang  terdengar suara derap kaki berjalan, matanya kini membulat menatap Mbah Nursam tajam. Mbah Nursam tampak tau apa ya g tengah di pikirkan Lukman.

     Kini, Mbah Nursam bangkit dari duduknya lalu berjalan pelan menuju pintu depan itu, di bukalah perlahan-lahan. Tak ada siapapun di sana.

     Tengok kanan dan kiri, lalu berjalan maju menuju halaman, hanya ada lampu remang-remang di teras para rumah warga.

     Kembali kedalam rumah, berbincang-bincang mengenai tahlil yang akan di lakukan setelah isya nanti.

"Tahlil di jalan desa Kojo Mbah?" raut wajah Lukman mengerut.

     Mbah Nursam mengangguk pelan, ia menjelaskan ingin membersihkan seluruhnya karena jalanan termasuk tempat yang sering di pijak oleh warga desa Kojo.

**

     Waktu isya telah berlalu, Lukman tampak sedang mengunci seluru pintu-pintu rumahnya dan siap menjalankan apa yang Mbah Nursam perintah.

     Berjalan ke arah masjid, duduk santai menunggu para warga datang untuk tahlil kedua ini.

     Tampak dari sebrang, banyak sekali warga yang membawa senter untuk penerangan disaat mereka berjalan.

     Semua tampak sangat bersemangat, berita kematian pak Juhri    masih hangat dalam perbincangan malam ini, semua tampak curiga hingga ada yang bertanya kepada Mbah Nursam.

     Namun, Mbah Nursam memilih untuk diam tak banyak bicara apapun.

     Mbah Nursam memilih jalanan yang sepi dari kendaraan, duduklah semua warga desa Kojo yang mengikuti tahlil itu. Seperti pada hari kemarin, tahlil akan di pimpin oleh Mbah Nursam.

     Tak ada kendala apapun, hanya rintikan hujan yang mengguyur pada malam itu. Hingga tak sedikit warga merasakan kedinginan karena terjebak dalam hujan.

     Namun beruntung, tak ada yang pulang karena hujan itu, semua masih tampak khusyuk menjalankan tahlil hingga akhir.

     Seperti biasa, wejangan sebelum akhirnya pulang selalu Mbah Nursam sampaikan. Hingga, ia memberi nasihat agar jangan membicarakan orang yang telah meninggal.

     Semua tampak fokus pada wejangan itu, hingga akhir. Dan mereka akhirnya memutuskan untuk kembali.

**

Kriet..

     Sudah hampir tiga hari, Mbah Nursam bermalam di rumah Lukman hingga Mbah Dasini ditinggal sendirian.

"Mbah Dasini ngga nyariin Mbah?"

     Mbah Nursam menggeleng pelan, "Sudah biasa, ditinggal sendiri."

     Kembali, Lukman kedapur untuk menyeduh kopi yang akan menemani malamnya bersama Mbah Nursam. Bau-bau semerbak kemenyan kini menganggu Indra penciuman Lukman.

     Sampai-sampai ia harus menutup hidungnya dengan telapak tangannya itu, lalu ia akhirnya membatalkan menyeduh kopi memilih berjalan menuju Mbah Nursam yang tengah di ruangan depan.

"Mbah, onok bau kemenyan."

     Lukman masih menutup hidungnya itu, kedua alis Mbah Nursam mengerut lalu bangkit dan mencoba mencari tau asal muasal bau itu.

     Mbah Nursam membuka pintu belakang, tepat disamping pintu terdapat dupa yang tengah menyala beserta isinya. Mbah Nursam menggeleng pelan, hendak ia membuangnya namun derap kaki itu kembali terdengar layaknya sedang menerkam Mbah Nursam.

     Napasnya kini tersengal-sengal, dadanya kembang kempis, hingga derap kaki itu tampak semakin mendekat dan mendekat, bau kemenyan semakin pekat pada hidung Mbah Nursam dan asap dupa yang mengepul mengganggu penglihatan Mbah Nursam.

     Derap kaki itu berganti, menjadi kaki yang pincang yang  diseret, matanya kini membulat mencari suara yang tengah menganggu malam itu.

Dan akhirnya..

Deso Mayit [ Selesai & Tahap Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang