13

344 24 0
                                    

Lukman menghentikan ucapannya itu, ia kembali berpikir ia tak ada bukti menuduh siapapun.

"Ningrum?"

Tiba-tiba Mbah Nursam menyebutkan nama wanita itu, mata Lukman membulat menepis tatapan Mbah Nursam yang menaruh rasa penasaran.

"Kok dia Mbah?"

Lukman hanya berpura-pura, walaupun Mbah Nursam pasti tau apa yang tengah di pikirkan oleh Lukman itu.

"Nama itu kan yang kau duga-duga sang dalang ini?"

Lukman menelan ludahnya pelan, ia lupa bahwa Mbah Nursam dapat membaca pikiran orang lain termasuk dirinya. Lukman mengangguk pelan, kalah dalam situasi ini. Mbah Nursam mengangguk tau apa yang di maksud oleh Lukman.

"Ngapunten Mbah, bukan maksud apa-apa."

Mbah Nursam tersenyum tipis menepuk pundak Lukman dengan pelan.

"Nanti kita cari bukti sama-sama."

Hari itu Mbah Nursam sengaja bermalam di rumah Lukman, Narti dan keluarga kecilnya sudah bersiap-siap untuk segera pulang karena tiket yang mereka pesan ternyata harus berangkat lebih awal dari perkiraan mereka.

"Mbah pamit nggih."

Narti menyalami punggung tangan Mbah Nursam dengan lembut di barengi Adi sang suami, dengan kedua anaknya pula.

Malam itu sunyi setelah Narti dan keluarga memutuskan untuk kembali bekerja di luar kota. Hanya tersisa Lukman dan Mbah Nursam yang masih terjaga di malam itu.

Perbincangan hangat antara mereka kian memanas, dengan beberapa suguhan makanan di atas dipan.

Mbah Nursam duduk bersila dengan menyeruput kopi hangat serta Lukman yang sesekali menengok ponsel miliknya.

"Kalau di lihat-lihat, Lastri itu Ndak bakal sembuh."

Lukman terkejut dengan ucapan Mbah Nursam tadi.

"Maksudnya Mbah?"

"Itu sudah parah sekali."

Lukman mematung, masih belum paham, harusnya mbok Lastri ada penanganan di rumah sakit.

"Kenapa ngga dibawa ke rumah sakit saja?"

Mbah Nursam tak langsung menjawab, kini ia melihat langit-langit rumah dengan plafon yang terbuat dari anyaman bambu. Tatapannnya tajam menatap jauh disana.

Lukman yang penasaran ikut melihat langit-langit itu, tak ada apapun disana kecuali jaring laba-laba yang memang sudah lama tak dibersihkan.

"Ini tentang ilmu penglaris Man."

Lukman menghela napasnya pelan, dengan mengambil satu biji singkong goreng.

"Kan Mbah Nursam tadi udah bilang, kenapa bilang lagi?"

Mbah Nursam menepuk jidatnya pelan.

"Udu kui!-- Bukan itu!"

"Lah nyapo?-- Lah apa?"

Mbah nursam menjelaskan bahwa ini ada salah satu kesalahan dari sang dalang ilmu penglaris. Jin yang bersekutu untuk ilmu penglaris tak diberi tumbal oleh dalangnya alhasil jin yang bersekutu ini mencari mangsa dari warga sekitar, ini bisa menghabiskan nyawa sampai lima orang.

Ngeri, tapi itulah yang Mbah Nursam ceritakan kepada Lukman. Tatapannya membulat bahwa cerita itu bukan hanya omong kosong belaka.

Tegukan Lukman akhirnya terhenti di kerongkongan membuatnyaa sedikit tersedak.

"Uhuk-uhuk."

"Ini minum air beningnya."

Mbah Nursam mengulurkan segelas air bening agar Lukman meminumnya perlahan.

"Aduh Mbah, ngeri cerita begituan, sudahlah jangan ceritakan lagi."

Namun Mbah Nursam hanya membalas tertawa kecil, menurutnya Lukman tak mampu mempunyai nyali yang besar untuk menuntaskan masalah seperti ini.

Hari kian gelap sunyi dan pastinya mengerikan, sesekali suara tangisan itu datang dari arah timur tepat di pekarangan mbok Lastri. Mbah Nursam dan Lukman masih bersantai tak menggubris suara aneh itu.

Tangisan tadi berubah menjadi tawa cekikikan, bau-bau anyir mulai menganggu padahal malam-malam yang lalu Lukman tak mendapati hal ganjil seperti ini.

"Mbah?"

Lukman berbisik, ia tak kuasa menahan ketakutan walaupun di sampingnya kini sudah ada Mbah Nursam.

Mbah Nursam mengisyaratkan untuk diam, Lukman memilih untuk membuka ponselnya agar hawa takut itu segera hilang.

Angin dingin kini masuk dari sela-sela jendela kayu, dingin meniup punggung Mbah Nursam dan Lukman.

Lukman tak bisa menyembunyikan dinginnya itu, segera ia masuk ke bilik dan mengambil jaket tebal miliknya.

"Mbah mau pinjam jaketku?"

Mbah Nursam menolak dengan menggelengkan kepalanya pelan, ia masih terus menikmati kopi yang sudah hampir habis dan sudah dingin.

Tiba-tiba jeritan itu terdengar, tepat dipekarangan rumah mbok Lastri. Mbah Nursam dan Lukman segera memeriksa keluar.

"Mbah, mbok Lastri?"

Mbah Nursam mengangguk pelan segera ia masuk kedalam rumah itu, terdapat beberapa orang didalamnya tengah mengelilingi dipan mbok Lastri.

"Kebetulan ada Mbah Nursam, Mbah ini tolong ibu saya."

Salah satu anak dari mbok Lastri tampak histeris melihat kondisi mbok Lastri yang memang sudah tak wajar.

Lukman hampir meninggalkan rumah mbok lastri karena melihat kondisinya yang memang sudah sangat tidak wajar, namun tangan Mbah Nursam memegang erat agar ia tak segera pergi.

Mbah Nursam menyingkirkan salah seorang yang merusak pandangannya terhadap mbok Lastri. Pucat pasi, bibirnya sudah membiru badannya kurus namun perutnya kian membesar.

Lukman menelan ludah dengan kasar dengan terus beristighfar dari dalam hatinya. Mbah Nursam menyentuh pelipis mbok Lastri itu.

Kemudian Mbah Nursam memeriksa kaki mbok Lastri. Memijat perlahan dengan mulutnya yang berkomat-kamit.

"Dingin."






Deso Mayit [ Selesai & Tahap Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang