Rumor

4 0 0
                                    

Langkah kaki gadis itu semakin cepat dan tidak beraturan. Tangannya menggenggam erat hoodie yang Ia kenakan. Hari ini Alta sedikit terlambat lagi dari jadwal biasa ia berangkat ke sekolah. Ia bahkan melewatkan sarapan paginya.

Alta segera masuk ke dalam kelas dan menatap ke dalamnya dengan menyeluruh, memastikan belum ada guru yang masuk. 

"Hai Alta!" Sapa Adit dengan melambai.

"Tumben telat, ada masalah apa?" Sahut Deon.

"Oh, Deon. Tidak adak ada masalah, tadi bangun kesiangan," balas Alta lalu berjalan menuju kursinya.

"HELLO GUYS, I'M COMING!" Seseorang dengan suara cempreng khasnya menyapa seluruh penghuni kelas XI IPS 1.

"Sela, kau habis dari kelas sebelah?" Tanya Baron yang duduk di depan Sela.

"Iya, dan kalian harus tahu aku dapat info menarik tentang daerah sini."

"Info apa?"

"Apakah ada gosip terbaru?

Beberapa siswa tidak terlalu memperdulikan Sela yang hampir setiap hari mendapatkan info berbagai gosip setiap harinya. Sela sendiri merupakan siswi yang termasuk populer di angkatannya. Ia punya banyak informan dan kenalan di sekolah itu.

"Tahu tidak, di sekolah ini ada rumor tak sedap. Katanya ada kotak telepon tua yang bisa mengabulkan permintaan." Ujar sela sedikit berbisik.

"Hah, kotak telepon yang bisa mengabulkan permintaan?" gumam beberapa siswa yang keheranan.

"Simplenya kita tinggal masuk saja ke dalam kotak telepon itu lalu sebutkan apa permintaanmu. Dan itu akan terkabulkan. Tapi..." Sela menggantung kalimatnya agar mendapat simpati dari teman-temannya.

"Tapi apa, Sel?" Beberapa siswa yang tadi mengabaikan Sela turut mendengar dan penasaran dengan kalimat selanjutnya.

"Ada bayarannya, loh. Kalau kalian mau pakai telepon itu. Tapi bukan berupa uang. Selain itu hanya orang beruntung yang bisa menemukannya."

"Heh, Sela. mendengarmu membahas rumor itu rasanya seperti mendengarkan anak SD yang sedang berimajinasi." Imbuh Deon tidak percaya dengan perkataan Sela.

"APA? MAKSUDMU AKU INI ANAK SD YANG SEDANG MENDONGENG GITU?" 

"IYA!" Dua sejoli itu lagi-lagi beradu mulut seperti biasanya. Ntah kapan mereka bisa akur.

'Hm, kotak telepon tua ya?' gumam seorang gadis yang sedang menatap kosong keluar jendela.

...

Buliran air turun secara konstan dari pusara langit. Aroma tanah khas hujan menguar begitu cepatnya. Dentingan yang jatuh di atas genteng menciptakan suara khas yang begitu damai bagi pencintanya.

"Belakangan ini sering hujan ya, Sya." Lirih gadis yang sedang menikmati tetesan hujan membasahi tanah.

"Iya, Al."

Ketiga sahabat itu sedang duduk menatap intens hujan yang berada di luar jendela. Jatuhnya butiran air langit itu begitu indah. Siapapun akan merasakan kenyamanan bila melihat hal itu.

"Sudah hampir jam tiga nih, kalian belum mau pulang?" tanya Adit yang mengalihkan pandangannya dari luar jendela.

"Kalian duluan saja. Aku mau ke toilet." Sahut Alta seraya menyambar tasnya menuju toilet.

...

"Ahh... Segarnya." Saat sedang hujan rasa kantuk lebih sering menyerang mata Alta. Jadi ia pun membasuh wajahnya alih-alih meminum kafein.

"Wow, sepertinya hari ini agak berbeda."  Alta sedikit terkejut saat melihat kepulan asap hitam berubah menjadi sosok anak kecil sedang memegang kedua bola matanya yang terlepas.

"Dimana..."

"Dimana mata-ku...!" Anak itu mencari sesuatu yang ia genggam sedari tadi.

"Hei, nak. Apakah kau sedang mencari ini?" Tanya Alta seraya menunjuk benda yang persis bola pingpong dengan warna merah darah yang pekat. Anak itu lalu tertawa dan memasang kembali bola matanya.

"Terima kasih, kakak cantik, hihihi." Ucapnya lalu menghilang.

Belakangan ini Alta cukup sering dikerumuni para hantu sejak kemampuan penghlihatannya kembali. Namun sebisa mungkin Alta menghindari tatapan mereka dengan memakai kaca mata hitam kesayangannya.

...

Di sisi lain seorang gadis dengan hoodie merah yang menenggelamkan kepalanya berjalan dengan langkah yang lesu menelusuri lorong sekolah. 

"Sejak kapan ada telepon umum di sini?" langkahnya terhenti dan memandangi telepon tua disebelahnya. Ia kembali teringat dengan ucapan Sela pagi tadi. 

"Apa telepon umum ini yang dimaksud Sela? Rumor itu... Sungguhan?" gumamnya seraya melangkah meraih gagang telepon itu lalu mendekatkan ke telinganya.

"Selamat sore Nona Hana!" Sapa seseorang dari dalam telepon itu. Gadis yang disebut namanya pun tersentak kaget dan melepas telepon itu.

"Siapa itu?" lirihnya ketakutan.

"Bagaimana nona Hana, apa kau ingin membuat permohonan untuk keselamatan ibumu, Renata Argantara?" Gadis bernama Hana itu sangat terkejut saat mendengar ucapan sosok di balik telepon tua itu dan segera berlari menjauh.

"Ba-bagaimana bisa dia menyebut nama ibuku?" Lirihnya. Ia menyusuri jalan pulang dengan perasaan yang campur aduk.

...

Baru saja ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur, terdengar dering telepon dari balik saku hoodienya.

"Selamat sore nona Hana Anindita!" Suara lembut dibalik telepon itu menyapanya.

"Sore, Suster." Jawabnya. Tiba-tiba Ia kembali di selimuti perasaan tak karuan.

"Apakah nona Hana bisa datang ke Rumah Sakit? Ibu nona sedang kritis,"

"Baik, Sus. Saya segera ke sana!" Jawabnya dan segera menuju ke Rumah Sakit.

Ada berbagai perasaan menyelimuti gadis itu saat ia tiba di depan ruang ICU. Segera ia membuka pintu dan menatap penuh tanya kepada dokter yang di hadapannya.

"Saudari Hana..."

"Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" Tanyanya dengan napas yang masih terengah-engah.

"Maaf nak. Saudara Renata Argantara tidak dapat bertahan lebih lama. Beliau dinyatakan meninggal pukul 15.10 tidak lama setelah ia dinyatakan kritis. Kami turut berduka cita atas kepergian ibumu."

"APA MAKSUD DOKTER? TIDAK MUNGKIN IBU SAYA..!" Hujan batu seakan menghantam tubuh gadis itu saat melihat Ibunya yang pucat dan dingin.

"HUAAAAA.. AAAAH.. IBU, KENAPA IBU MENINGGALKAN HANA SENDIRIAN!" Gema isak tangis memenuhi ruangan itu.

"Benar, telepon tua itu!" Gumamnya saat telepon tua pengabul permintaan itu terlintas dalam pikirannya.

"Ha-halo?" Ntah bagaimana cara gadis itu sampai di tempat telepon tua itu dalam keadaan basah kuyup.

"Aku ingin Ibuku, Renata Argantara agar hidup kembali dan sehat seperti sebelumnya."

"Baiklah pelangganku yang manis."

***

ALTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang