̄End ̄

593 53 22
                                    

Tak disangka semuanya berjalan mudah, seolah rencana mereka mendapatkan restu serta perlindungan dari dewa-dewa yang diyakini. Di Kamis pagi, dua hari setelah kedatangan terakhirnya ke kamar sang putri, si kepala penjaga memboyongnya menggunakan kereta dengan dalih seperti terencana. Mereka berangkat ke pusat kota, berjumlah empat orang bersama Kiba dan si pelayan setia sang putri.

"Aku menjamu mereka, dan mereka percaya itu dilaksanakan untuk menyambut kepulangan Otsutsuki."

"Ya, syukurnya kau memahami siasat itu tanpa perlu merundingkannya denganku. Aku hanya berpikir akan menyiapkan kereta yang layak mengangkut kita di perjalanan jauh--ya, lari sejauh mungkin meski mereka berkemungkinan bisa mengejar. Tapi, aku sempat berniat melumpuhkan para penjaga dengan obat tidur dosis tinggi, cara serupa seperti kau mengadakan perayaan minum-minum bersama mereka."

Keduanya berbincang di dalam ruangan berbentuk kotak yang tertutup, sekadar tirai merah tua kelihatan mencolok di pandang. Sudah setengah hari perjalanan berlangsung dan belum ada tanda-tanda dari orang-orang si Otsutsuki menyusul di belakang.

"Ide Tamaki. Sejujurnya, aku tidak bisa berpikir jernih. Yang kuharapkan adalah agar kau berhasil menyiapkan kereta untuk keberangkatan kita. Selebihnya entahlah, asalkan aku benar-benar bisa keluar dari tempat ini."

"Otsutsuki tidak mungkin tinggal diam setelah menyadari kejanggalan. Perkiraanku juga singkat. Begitu dia tiba, maka kehebohan pasti memenuhi mansion itu--aku sudah mempertimbangkan solusi lain. Kalau perjalanan lancar, menjelang petang kita akan bertemu jembatan tua. Tidak ada yang berani melewatinya, kecuali di dalam situasi genting. Kita boleh memakai opsi tersebut sebagai taktik."

"Apa?! Kau ingin kita semua mati?"

Di bangku kusir, Kiba serta Tamaki melirik ke belakang. Dan yang mereka temui cuma kayu berbentuk persegi. Namun, lengkingan sang putri telanjur memancing rasa penasaran.

"Mereka bertengkar?!"

"Tidak. Memangnya kapan kau melihat mereka bermusuhan?"

"Tidak pernah. Tapi, aku heran sekali saat tahu Putri Hinata sedekat itu dengan temanku. Kau menyaksikannya 'kan? Sikap manja putri, apa pandanganku yang salah?!"

"Dia kepala penjaga, kau belum pikun 'kan?" Kiba berdecak serempak Tamaki tertawa main-main.

"Dia kepala penjaga terhebat di Munshiti dan tetap menjadi temanku sampai kapanpun." Perempuan di sebelahnya ketagihan cekikikan.

"Persis dugaanku. Kau memang lucu, Penjaga Kiba. Aku tidak menyangka kau segitu posesifnya terhadap kepala penjaga." Semuanya mendadak terperanjat jangka Thunder si kuda hitam nan gagah meringkik kelewat kencang.

"Kiba, ada apa?!" Lalu, si kepala penjaga menjorokkan kepalanya dari jendela kecil di sisi kanan kotak pengangkut.

"Kita berada di perbatasan hutan terlarang dan sepertinya Thunder tidak ingin meneruskan langkahnya."

"Kalau berhenti di sini, kita bakal tertangkap dengan sangat mudah." Kiba mengerutkan kening, memperhatikan gerak kepala penjaga yang sedang berputar ke posisi kudanya. Tampak dia mengusap-usap wajah, kepala dan punggung si kuda seumpama membahasakan bujukan di situ. "Kau tidak sendirian Thunder, kami bersamamu." Bisikan terakhir dia ucapkan seraya terus menyapu dahi kudanya. "Pelan-pelan saja, oke! Aku mengawasi dirimu, kau tidak perlu takut."

"Naruto, siapa maksudmu yang bakal tertangkap?!"

"Kita."

"Apa?!" Penjaga Kiba menelan perasaan bingungnya seorang sendiri, sejenak melalaikan jika di sebelahnya seseorang tengah mengamati dia dengan air muka jenaka.

"Anggap saja aku baru menyelamatkan nyawamu, Kiba. Teruslah berjalan kalau kau tidak mau tubuh kita dicincang-cincang untuk dibagikan kepada kelompok serigala gunung yang kelaparan."

Penjaga Kiba merasakan sesuatu mengganjal di kerongkongannya, dia kepayahan menelan ludah. Kepanikan tidak terbendung lagi dari wajah kentara pias, memancing ulang tawa Tamaki yang saat ini sengaja ditahan.

"Turuti saja perkataan kepala penjaga, aku yakin kita semua akan selamat dan bisa memulai hidup yang baru." Menoleh ke kiri, mendapati senyuman manis sarat kepastian sanggup melunturkan sedikit kecemasannya.

"Baiklah, tapi aku butuh penjelasan darimu," kata penjaga Kiba dini tangannya mengayun pelan tali penyambung ke badan Thunder, hingga kuda itu meringkik tenang sambil menapaki tanah rerumputan di depannya.

"Aku punya banyak kesempatan bercerita, tolong simak baik-baik, ya."

Begitulah awal mula satu-persatu peristiwa di antara sang putri dan kepala penjaga masuk ke telinga Kiba. Sedangkan, beragam reaksi berlebihan tak pula bisa terhindarkan. Dia terlampau syok ketika mengetahui teman karibnya menjalin hubungan terlarang dengan tuan mereka. Penjelasan dari si pelayan setia malah meningkatkan kepanikannya, menyebabkan dia pun kuat hanya mengutamakan rencana kabur dari tempat itu sesegera mungkin.

"Naruto sungguh gila. Dan putri--andai ada sebutan lain di atasnya."

-----

"Aku ingin berbaring di pangkuanmu."

"Kenapa tiba-tiba manja sekali?!" Sembari dituntunnya sang putri guna dilabuhkan ke dalam dekapannya. Beruntung bangku di kotak pengangkut cukup panjang, tak menyulitkan bagi sang putri menyamankan dirinya.

"Belakangan aku sering bermimpi aneh. Ada anak perempuan yang berlari padaku sambil berteriak Ibu dan kau berlari mengejarnya di belakang. Kau dan gadis kecil itu kelihatan sangat gembira dan tidak tahu sebabnya, aku pun merasakan hal yang sama."

"Apa kau suka anak-anak?"

"Ya, sangat suka. Aku sempat menggendong bayi sepupuku. Mereka menggemaskan, bulat dan gembil."

"Kedengaran mirip dirimu." Agak lirih si kepala penjaga mengucapkannya.

"Ha? Kau bilang apa tadi?"

"Tidak ada, kita bisa memilikinya nanti jika kau mau."

"Kau serius?!"

"Apa yang tidak kuberikan padamu? Aku memang awam berkata manis atau bersikap romantis. Tapi, aku selalu berusaha memenuhi semua permintaanmu, biar nyawaku sekalipun taruhannya. Kau sudah melihat buktinya 'kan?"

"Ehm." Sang Putri mengangguk, memejamkan mata demi satu kecupan lembut di keningnya. Aku sayang padamu."

"Aku tahu itu, Putri. Sangat tahu."

"Aku bawa banyak anggur di dalam bangku kusir, juga perhiasan milikku dan mahar dari si Otsutsuki. Aku tidak mau kita telantar sebelum berjuang."

"Kau yang terbaik, sayang." Ya, pengakuan heroik sang putri memperoleh apresiasi terbaik berupa kecupan bertubi-tubi di wajahnya, sampai membuat dia menjerit geli di situ.

---Bye---

Note;

Terserah mau komen apa, mau tidak komen pun. Bodo amat! Sankyuuu ... 😌




Red Wine (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang