̄♡⁹ ̄

328 45 21
                                    

"Kenapa lama sekali?" Sang Putri menarik lembut lengan kepala penjaga yang baru saja tiba di depan pintu kamarnya.

"Tidak ada siapa-siapa, aku sudah memastikannya sebelum sampai di sini." Interupsi si kepala penjaga agaknya berhasil menghapus kecemasan di raut sang putri. Dia buru-buru mendorong pelan tubuh besar si pria, menutup tak kalah hati-hati pintu biliknya.

"Ayo, duduk. Aku ambilkan minum untukmu." Kendati dalam kondisi ketakutan, rasa pedulinya terhadap si kepala penjaga tak pula berkurang barang setitik. "Ini akan membuatmu lebih rileks." Dia menyerahkan gelas kuningan berisi anggur merah, tanpa meredam ekspresi tegang luar biasa di paras cantiknya.

"Bukankah harusnya aku yang bilang begitu padamu? Kau sangat panik."

"Kelihatan sekali, ya?"

"Menurutmu?" Dan sang putri mengerang pasrah berikutnya, menjatuhkan badan tepat di sisi si kepala penjaga di atas ranjangnya yang empuk.

"Semuanya bikin aku pusing dan terus berpikiran buruk. Aku dihantui bermacam asumsi mengerikan mengenai reaksi yang bisa ditunjukkan si Otsutsuki jika tahu aku menyelingkuhi pernikahan ini."

"Baru sekarang terpikir demikian? Kemarin-kemarin ke mana akalmu?"

"Jangan bercanda!" Si kepala penjaga terkekeh ringan usai menerima bentakan yang justru menggemaskan baginya. Dia sampai refleks mencolek genit dagu sang putri. "Begitu saja langsung marah," katanya lagi sembari menyapu kepala perempuan nekat di hadapannya ini.

"Kau masih bisa tertawa dan bergurau setelah tahu nasib kita berada di ujung tanduk? Aku tidak mau memaafkan dirimu kalau kita berdua tidak bisa selamat dari sini."

"Astaga, segitu putus asanya ternyata." Si kepala penjaga menenggak tandas gelas kuningan berisi anggur tadi. "Ceritakan perlahan-lahan apa yang membuat kekhawatiranmu meningkat, lalu rencana apa yang kau persiapkan untuk mengatasinya."

"Otsutsuki memajukan hari kepulangannya dan dia tidak ingin memberitahuku demi sebuah kejutan. Katanya akan menyusun semacam hadiah pernikahan."

"Oh, dia romantis juga. Kurasa dia benar-benar menyukaimu, Putri."

"Aku jadi ingin sekali menonjok mukamu yang menyebalkan itu!"

Lagi-lagi si kepala penjaga tertawa sarkas. Dia sekadar berupaya mengikis aura tegang di antara mereka. Meski, sikap sang putri yang gampang tersinggung saat ini merupakan hal baru yang cukup mengherankan di benaknya. Dia bijak menepikan dahulu demi memprioritaskan jalan keluar yang sedang dirancang.

"Jadi, seperti apa rencanamu, sayangku?" Sang putri tersentak sipu, mengalihkan seketika pipinya yang telanjur merona. "Kau benar-benar lucu, Putri. Setelah sekian malam berganti, baru saat ini aku bisa melihatmu malu-malu begitu. Aku jadi heran, keberanian apa yang mendorongmu hingga mampu menyerangku bertubi-tubi?" Sang putri merutuk kesal dalam hatinya. Hendak membalas, tetapi dia sadar tidak pada tempat yang tepat. Kepalang sisi alamiahnya dipaksa muncul oleh pria menjengkelkan di depannya.

"Haruskah kubiarkan saja si Otsutsuki menembak kepalamu?!"

"Kau suka menyaksikanku tertawa, sayang?" Berat sungguh embusan napas sang putri terdengar. Seakan dia kehabisan akal untuk menanggapi sikap tenang kepala penjaga. "Siap merasakan patah hati sampai ajal menjemputmu? Aku tahu kau mencintai budakmu ini terlampau besar, tanpa kau katakan pun aku dapat menyadarinya, Putri. Kau tidak akan punya kekuatan untuk menyangkal." Kalimat terakhirnya merendah berubah bisikan ke telinga, permainan lain darinya guna memancing emosional sang putri.

"Aku menyerah, Naruto. Kau tidak bisa diajak serius malam ini."

"Ehm ... kau ingin aku serius, Putri?" Yang ditanya mengerjap-ngerjap kosong. Gagal menangkap makna dari pernyataan sekian. "Kau amat tahu maksudku, Sayang. Tidak perlu berpura-pura polos seperti itu ketika kau sudah terbiasa menelanjangiku. Kemari, aku butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiran ini!"

Sang putri kontan melupakan tujuan awalnya mengundang kepala penjaga ke ruang pribadinya. Melainkan, dia kini menyambut uluran tangan si pria, duduk dipangkuannya, memandang penuh hasrat mendambakan dan tidak pernah ada rasa canggung mempertemukan sepasang labium berbeda bentuk ke dalam ciuman basah. Dia abai bahkan dengan betapa cabul erangan terungkai dari sela-sela bercumbu mereka.

-----

Red Wine (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang