Awal cerita bermula

20 5 16
                                    

Awal sebuah cerita dari tepi nestapa remaja kuno. Ini aku Sulis, menuliskan kisah berlatarkan batu dan tombak seperti manusia purba. Ini aku Sulis, mengungkap sedih dan bahagia dibalik kertas dan pena.

Sulisya Wendari, gadis kuno dengan pakaian desa ini mencoba bertanya pada semesta raya, gadis ini adalah aku. Kenapa mata-mata manusia selalu memandang rendah aku, kenapa mulut-mulut manusia mencaciku. Apakah salah jika aku tidak bersekolah tinggi? Apakah salah jika aku tak menjadi seperti yang diharapkan kebanyakan?

"Sulis, apa bisa aku memesan tiga puluh roti isi selai untuk minggu depan?" Ujar Beni datang ke toko roti tua milik peninggalan ayah.

"Bisa, kamu isi dulu alamat dikirimnya dan isiannya apa aja." Kataku memberi buku pesanan khusus.

Beni tersenyum sumringah, dia adalah sahabat dekatku. Kami satu sekolah sewaktu SMA, kami akrab tiga tahun belakangan. Dulu kami tidak saling mengenal dan tidak tahu kalau kami tetangga desa. Aku akrab dengannya karena kami pernah satu kelompok bersama, hal itu pula yang membuatku tahu bahwa rumah kami dekat.

"Sudah ku isi semua, ini untuk uang dpnya. Makasih Lis." Katanya sambil menutup bolpoin bertinta biru.

Aku mengangguk, "Ada acara apa Ben memangnya?" Tanyaku penasaran, salahnya juga tidak langsung pulang dan malah mengambil kursi didekat kasir tempatku berdiri.

"Syukuran kecil-kecilan, aku keterima diuniversitas jogja." Katanya kini mencoba menatap mataku yang terus melihat kearahnya.

"Wah beneran? Jurusan apa?"

"Kedokteran."

Detik itu aku terkejut, seorang Beni tukang bolos bisa mengambil jalan itu. Walaupun bolosnya sekali dua kali sih.

"Wah? Beneran?" Aku keluar dari meja kasir menghampiri Beni. "Selamat ya!"

Beni berdiri memegang pundakku cukup kencang. "Lis, aku izin mengambil cita-citamu." Katanya sedikit gugup dan takut.

"It's okey, kamu kenapa sih Ben?" Mataku menatap netranya yang masih mencoba mencari-cari sesuatu diwajahku.

Beni sedikit bergetar, ia tak menangis. "Aku mau mewujudkan cita-citamu Lisya."

Aku tertegun, "Kenapa? Aku gak mau kamu ngejalanin hal yang gak kamu inginkan. Gak keren banget kamu Ben." Kataku menekan, aku berjalan selangkah kebelakang memutuskan tangannya yang melekat dipundakku.

"Karena aku suka kamu Lis." Ucapnya kemudian duduk kembali kekursi didepanku.

Aku terdiam, ia juga sama, tidak mengeluarkan suara lagi setelah mengungkapkan hal itu. Aku tak tahu harus bersikap apa, iapun tak tahu harus berbuat apa.

"Kamu sebentar lagi pergi keluar kota, kamu akan banyak bertemu orang-orang disana. Gak ada yang bisa jamin setelah semua hal yang kamu lakukan diluar sana kamu tetap suka aku atau gak. Yang jelas Ben, jangan bicara hal itu lagi didepanku." Kataku yang sangat ku sesali didepannya.

"Pesanan kamu akan aku antar minggu depan, semoga hari-harimu selanjutnya berjalan lancar. Semoga, cita-citamu tergapai." Kataku menyudahi pertemuan kami, aku kembali kemeja kasir meninggalkan Beni yang terus menatapku dari kursinya.

"Kelak kamu akan tau Lis, perasaanku bukan main-main yang ditinggal akan hilang. Aku pamit pergi dulu." Beni pergi dari depanku, punggungnya lama-lama menjauh dan hilang setelah pintu toko ini tertutup.

Beni tak pernah kembali lagi kesini setelah sekian purnama muncul dan menghilang. Beni awal mula cerita ini kubuat, pria sialan itu bisa membuat perasaanku terombang ambing rumit.

Gadis kuno ini terdiam cukup lama, hidupnya akan terus berjalan dengan semestinya. Masih banyak perkara yang bisa dihadapi lebih ikhlas. Berharap apa pada gadis desa tak terpelajar ini, berharap apa.

'°☆🌷♡•~

Pemulihan Luka Dengan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang