4. Dunia berputar untuk siapa?

10 3 6
                                    

Setelah mengantar Jio ke TK aku mampir ke sebuah toko buku untuk membeli buku yang sama, ceritanya sangat indah. Berlatarkan gunung dan persahabatan yang kental. Aku dibuat jatuh cinta akan sosok Awan, anak kecil yang memiliki cita-cita setinggi awan.

Kata Beni buku itu dari kadonya waktu kecil dulu, sepupunya yang jauh memberinya banyak bacaan komik dan novel itu menyempil didalamnya. Kata Beni novel itu membuatnya ingin menjadi penemu, buku itu mengajarinya sejarah manusia purba. Buku itu mengajarinya banyak hal, buku itu juga yang membuatnya tidak suka novel roman. Beni aneh.

Setelah membayar buku yang kubeli, seseorang memanggilku dari arah luar. Aku yang tak kenal siapa-siapa di Jakarta harus memutar otak dan mencoba tak mendengar, siapa tahu bukan aku yang dipanggil.

"Sulisya!!" Lagi, aneh bukan?

Aku berjalan dengan cepat menuju jembatan layang yang mengantarku pada trotoar pinggiran mall. Seperti berangkat tadi, aku akan ke halte dan pergi menaiki bus.

"Sulisya! Dipanggilin juga!" Ia memarahiku, aneh. Aku tidak mengenalnya.

Ia menoyorku, kurang ajar dan tidak sopan sekali. "Aku Ninda! Lo lupa?"

"Oh Ninda." Jawabku spontan karena memang dulu punya teman dengan nama tersebut. Aku tidak ingat wajahnya seperti apa.

"Lo ngapain disini?"

"Nunggu bis." Jawabku apa adanya, lagi-lagi ia menoyorku. Memang anak kurang ajar rupanya.

"Maksud gue, lo ngapain datang ke Jakarta? Kuliah juga? Sama dong, lo kuliah dimana?" Ninda tersenyum manis, aku menggeleng menjawab pertanyaannya.

"Lagi main ke rumah saudara." Ketukan kakiku yang cukup resah itu berharap memanggil bus dengan cepat. Aku asing dengan Ninda, aku bahkan tak mengingat siapa dia.

Ninda yang seolah bisa baca pikiranku tiba-tiba memergokiku. "Lo kenapa gelisah? Gue gak akan nyulik lo." Ucapnya yang malah membuatku malu bukan kepalang.

"Bukan gitu maksudku, sorry to say tapi aku lupa sama kamu? Kita pernah ketemu dimana memangnya?"

"Gue temen SD lo yang pindah waktu kelas dua." Ucapnya tersenyum sumringah. Pasalnya wajah Ninda saat ini tipikal yang sulit untuk dilupakan, dia sangat cantik.

"Daya ingatmu bagus juga." Aku menyahuti perkataannya. "Soalnya aku pelupa." Lanjutku kikuk.

"Nggak juga, soalnya lo berkesan banget diingatan gue. Kan sampai sekarang instagram lo gue ikutin. Follback dong Lis." Ia menyenggol lenganku sambil memegangi hp miliknya.

Bus transjakarta tujuanku datang, sumpak bercampur keringat tidak asing diindraku. Tak kusangka Ninda ikut denganku, entah ia memang satu tujuan atau mungkin masih ingin bercengkrama. Pagi menuju siang itu kami berdua menjadi lebih tau satu sama lain.

"Ini fotoku dulu waktu SD, gendut. Kamu ingat?" Ninda menyodorkan ponsel miliknya. Kami duduk dibangku paling panjang dibelakang.

Aku tertawa, tiba-tiba terputar dikepala waktu Ninda mengompol dirok merah hatinya. "Ingat!" Kataku menjawab.

Ninda mengambil kembali ponselnya, "Apa yang lo ketawain? Ingat apa memangnya?" Tanyanya penasaran.

"Waktu kelas satu, kamu disuruh maju untuk baca. Waktu itukan kamu ngompol sampai kelasnya dibubarin karena gurunya nganterin kamu pulang." Tawaku mengingat-ingat sisa memori yang ada.

Pipi Ninda merah merona, "Lo ini! Dari dulu jahil terus." Ucapnya kesal.

"Kapan aku jahil? Gak pernah tau!"

"Ish, waktu main bola bekel bijinya lo senggol biar gue kalah! Gue masih ingat, sumpah ngeselin banget."

Aku lagi-lagi tertawa, pasti semua anak kecil pernah melakukan itu, bukan cuma aku saja. "Hahaha ya maaf." Ucapku menyudahi tawa.

Pemulihan Luka Dengan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang