3. Kita menuju kutub yang berbeda

10 3 13
                                    

Beni kembali ke Jogja dan langsung menghubungiku setelah sampai disana. Aku tak berharap apa-apa padanya. Hari ini aku putuskan untuk pergi menemui tante Dena karena sudah berbulan-bulan lamanya kami tidak bertemu. Jio saja sudah bersekolah.

Aku datang bukan untuk menetap, hanya saja kalau dibilang liburan juga tidak tepat karena maksud kedatanganku untuk meminta izin kepada tante Dena, satu-satunya keluargaku yang terlihat dan yang ku katahui.

Kereta ekonomi ini melaju tak kalah pesat, walau membutuhkan waktu puluhan jam untuk sampai di Jakarta. Setiap berapa menit berhenti disetiap stasiun, ramai orang berbicara yang terkesan ricuh, tangisan anak kecil yang tak terhindarkan. Momen yang telah lama tidak kurasakan. Dunia seramai ini.

"Mbak, disamping jendela kursi gue. Maaf sebelumnya." Pria perawakan tinggi dengan setelan hitam-hitam sangat tertutup itu membawaku bergeser untuk ke tepi kursi yang gandeng ini.

Setelah pria itu duduk, ia cukup hening. Tidak membawa tas ataupun makanan apapun. Ia hanya membawa ponsel dan pakaian aneh, seperti artis.

"Mas mbak maaf boleh nitip barang-barang gak? Mau ke toilet sebentar." Ibu-ibu yang membawa kedua anaknya itu berdiri, mereka duduk didepan kami.

Aku mengangguk, "Iya." Jawabku. Pria itu hanya mengangguk tanpa bicara.

Ibu itu segera berlari mengejar anaknya seumuran Jio yang sudah berjalan mendahuluinya. Memang anak kecil diluar nalar semua.

"Aneh, gak berpikir kalau bisa aja kita jahat apa? Orang gak kenal." Celetuknya membuatku menjawab.

"Emangnya kamu orang jahat?" Tanyaku yang membuatnya menaikkan topi untuk melihatku.

"Gue? Jahat? Lo paling mbak." Jawabnya menyebalkan.

"Kok nyolot sih mas? Aku kan nanya baik-baik."

Ia melepas topinya, rambutnya bergelombang halus, alisnya yang tebal membuat wajahnya terlihat tegas. Memang seperti artis rupanya. Artis Korea.

"Gini ya mbak, gue kan cuma bilang emang ibunya gak berpikir kalau bisa aja salah satu dari kita orang jahat. Bukan berarti kita jahat beneran. Udah ya mbak, jangan bikin masalah lagi." Jawabnya yang membuatku diam, aku juga tak mau membahas hal itu lagi, tidak jelas.

Lantas ia berbisik sambil melihat-lihat ponselnya. "Nyesel banget gue pesen ekonomi, mana masih jauh tujuannya." Katanya seperti mencicit, sangat lirih.

Aku membalik buku yang kubaca, "Belagu banget." Kataku yang juga lirih. Kulihat dari ekor mataku pria itu meletakkan ponselnya dan menatapku lekat-lekat, sebenarnya takut sih.

Aku tetap melanjutkan membaca dengan perasaan resah, sedangkan dia bersandar ke meja kecil kereta sambil menopang dagu menatap kearahku. Menakutkan.

Aku berhenti membaca dan menutup bukuku. Kuputar badanku mencoba melihatnya yang terus menatapku tidak suka. "Maaf sebelumnya, bisa gak sih berhenti lihat aku kayak gitu?"

Ia tersenyum jengkel. "Kenapa? Gak suka?"

Pria menyebalkan itu membuat tensiku naik saja. "Iya, gak suka banget banget banget!" Jawabku yang berhasil membuatnya tertawa licik.

"Bagus, berarti aku berhasil." Katanya yang membuatku menatapnya tak suka.

"Kekanakan!" Sahutku mencoba meredam semua amarah yang memuncak.

Ia terdiam sepersekian detik sebelum ibu-ibu itu kembali membawa kedua anaknya. Anak perempuan yang mungkin duduk di bangku SMP itu seolah mengenal pria disampingku.

"Kak Arsen! Kamu kak Arsen kan?" Ucapnya excited melihat pria itu.

Pria yang ia sebut Arsen itu menaruh telunjuknya dibibir, mengisyaratkan untuk diam.

Pemulihan Luka Dengan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang