7. Manusia berakal keji

1 0 0
                                    

Aku tidak benar-benar menepati Jio, sesampainya didepan rumah Arsen dengan ide cemerlang aku mengatakan bahwa lebih enak makan es krim yang dibeli diujung jalan sana. Untungnya Jio juga setuju, lalu apa? Ia akhirnya lupa akan tujuan utamanya. Kami menghabiskan waktu didepan mini market sambil makan jajan dan es krim yang mungkin Jio belum pernah mencobanya. Makanan anak kecil ini terbilang sehat-sehat.

"Kak Lica akan pergi?" Bocah itu selalu saja berkata tiba-tiba dan ambigu. Membuatku berpikir keras kemana arah pembicaraannya.

Aku mangangkat alisku, "Pergi kemana?" Tanyaku yang membuatnya berhenti memakan es krim.

"Dari rumah Jio, tidak kan?"

Aku menggeleng, "Aku harus pergi, tapi masih lama kok." Jawabku tersenyum yang malah membuatnya berekspresi tidak suka dan sedih.

Jio memakan es krimnya dengan tergesa tanpa berkata apapun. Aku yang memanggil-manggilnya dan mencoba menghiburnya hanya ia diamkan. Hingga bocah itu berdiri tanpa mengatakan apapun dan berjalan meninggalkanku. Aku yang khawatir segera mengikutinya tanpa banyak bicara.

"Jio jangan ngambek gitu, mirip dugong tau!" Kataku mengikutinya dibelakang.

"Kalau jalan hati-hati, nanti jatuh gimana?" Lagi, tak ada respon darinya.

"Bruk!" Jio yang tiba-tiba berlari menabrak seorang gadis yang berjalan kearah berlawanan.

Aku buru-buru membawa Jio yang terjatuh kembali berdiri. "Maaf ya kak." Kata Jio sebelum aku berbicara.

"Maaf ya." Lanjutku tersenyum kearah gadis itu, mungkin remaja SMA.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum, lantas mengatakan, "Iya." Tanpa mengeluarkan suara.

"Kakak cantik, aku Jio!" Bocah itu malah menarik-narik baju gadis didepan kami.

Gadis cantik itu menunduk kebawah dan hanya diam. Aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.

"Maaf ya, Jio memang suka usil. Kami pamit pergi dahulu." Aku menarik lengan Jio agar ikut berjalan denganku, gadis yang didepan kami hanya diam saja dan tersenyum. Meninggalkan rasa penasaran dan sedikit takut, kenapa ia hanya diam saja saat kami ajak berbicara. Mungkin masih kesal debgan Jio.

Setelah beberapa saat kami pergi dari kursi mini market aku melupakan handphone yang berada dimeja. Jio yang berjalan pergi begitu saja membuatku terus mengejarnya hingga melupakan barang milikku sendiri.

"Jio, ayo balik lagi. Hpku ketinggalan!" Kataku yang membuat Jio langsung panik, pria kecil itu akan merasa bersalah atas kejadian ini.

"Ini gara-gara aku teledor kok, jangan khawatir. Ayo kita pergi kesana lagi, pasti aman." Lanjutku yang mendapatkan anggukan Jio,  seolah bocah itu lupa bahwa ia sedang marah padaku.

"Ayo kita lari." Ucapnya yang tiba-tiba meminggalkanku lagi. Langkah kecilnya melaju pesat seperti mengejar langit diangkasa.

"Hahaha jangan lari nanti jatuh lagi." Kataku mengikutinya berlari, ia yang mendengarkan ucapanku hanya tertawa dan melanjutkan hingga langkahnya sampai pada mini market.

Tidak seperti ekspekstasiku, ponsel itu menghilang. Kasirnya tidak tahu menahu tentang ini, ketika kami melihat cctv terdapat gadis cantik tadi yang mengambilnya. Tidak mau mengambil tindakan gegabah aku mengatakan kalau besok tidak kembali akan aku laporkan sendiri ke satpam komplek. Untung saja aku mengatakan hal itu, kalau tidak bisa saja gadis itu dijadikan buron. Pasalnya saat pulang dari sana gadis itu bertemu lagi dengan kami. Ia mengembalikan ponselku dan menggunakan bahasa isyarat yang tidak aku mengerti.

Ku berikan ponselku padanya lantas ia mengetikkan sesuatu.

[Maaf membuatmu khawatir, aku bingung memanggilmu tadi karena aku tidak bisa berteriak. Aku tuli.]

Aku membacanya lantas sepersekian detik membeku. Pantas saja sedari tadj aku dan Jio berbicara tak ada tanggapan apapun darinya.

"Makasih ya." Kataku yang lupa, buru-buru aku menuliskannya diponsel namun tangannya menyergap tanganku lantas mengangguk.

"Aku mengerti." Ucapnya yang terdengar jelas namun tidak seperti pengucapan orang normal.

"Woah! Ka-mu bi-sa bi-ca-ra?" Tanganku ikutan isyarat seadanya, aku tahu ini salah kaprah toh ia juga mengerti.

"Iya." Ucapnya tertawa tanpa suara.

Jio yang menatap kita berdua dari bawah kini mencoba ikut nimbrung dan bertanya-tanya.

"Kenapa kalian ngomongnya gitu? Jio tidak paham." Ucapnya sedikit sebal karena tidak diajak berbicara.

Aku menunduk kearahnya, "Kakaknya tidak bisa mendengar. Jadi aku kita menggunakan tangan untuk berbicara." Jelasku yang membuatnya berpikir keras.

"Seperti ini?" Tanya Jio menodongkan telapak tangannya yang mengerucut lantas membuka dan menutup.

"Hahaha... bisa jadi." Kataku menahan tawa yang tidak tertahankan melihat kelakuan bocah TK ini.

[Ayo pulang bareng]

Ketikku membuatnya mengangguk senang. Sepanjang perjalanan hanya sunyi, jika ingin mengobrol mungkin kan sulit, aku harus mengetik dan ia harus berhenti berjalan untuk membacanya. Namun tiba-tiba Jio berdii didepan kami sambil berjalan mundur.

"Ka-kak can-tik ru-mah-nya ma-na?" Tanyanya dengan tangan yang menunjukkan bentuk rumah dan seperti bertanya-tanya.

Gadis itu tersenyum, "Tu-juh be-las!" Katanya sambil memberi jari satu dan tujuh.

"Oh, jalan Bulan!" Kataku yang tiba-tiba heboh, pasalnya sangat dekat dengan rumah tante Dena.

Gadis itu hanya diam, soalnya tadi ia tidak memperhatikan gerakan bibirku. Sampai kita didepan rumahnya, aku dan Jio berakhir masuk kedalam karena lagi-lagi orangtuanya menyuruh kita masuk. Dan sepertinya ada teman Jio,  benar-benar teman TKnya walaupun perempuan setidaknya ia bisa berteman. Semoga saja Jio melupakan Arsenn.

"Sebenarnya kita khawatir loh waktu Zea keluar sendiri kayak tadi, dulu ada kejadian tidak mengenakan." Ibu gadis itu memulai ucapannya setelah beberapa saat lalu membuatkan teh hangat untukku dan suaminya.

Zea hanya diam memperhatikan tak banyak tingkah dan tersenyum setiap mata kami bertemu.

"Saat ini Zea masih sekolah om tante?" Tanyaku yang membuat mereka mengangguk.

"Iya, masih kelas sepuluh." Jawab sang ayah. "Itupun dulu banyak yang bully." Lanjutnya yang membuat wajah gadis itu berakhir cemas.

"Zea memang berkebutuhan khusus, tapi soal prestasi dia tidak pernah tertinggal. Dia mampu sedikit mendengarkan guru karena memakai alat bantu dengar, dulu saja waktu pendengarannya normal ia anak yang sangat cerdas. Walau sekarangpun demikian, anak jaman sekarang memang suka membuli sedikit kekurangan orang." Kata sang ayah menarik bangga.

Ibunya mengusap bahu sang anak sambil tersenyum, "Bahkan karena kekurangan anak saya, banyak yang memanfaatkan keadaan." Sang ibu terdiam sejenak, raut sedih memenuhinya. "Ada yang sampai mau melecehkan Zea, itu yang paling membuat kami sakit." Lanjutnya yang detik itu juga menangis.

Zea merangkul sang ibu, menguatkan.

"Pasti berat banget jadi Zea." Komentarku yang terlontar begitu saja.

"Makanya waktu kami ngelihat kamu antar Zea kami sedikit takut, apa ada masalah serius tadi." Ucap sang ibu membuatku menggeleng dengan cepat.

"Haha, tadi kebetulah Zea menemukan hp saya om tante. Terus kita pulang barengan deh." Jawabku tertawa mengingat kejadian tadi.

Hingga teriakan perempuan kecil memecahkan suasana sedih kami. Jio dan temannya berlarian dari arah kamar menuju ruang tamu sambil membawa mainan, seolah Jio adalah monster yang akan memakan gadis kecil itu.

"AAAAAAAA!"

"Hohoho Beva aku makan kamu hohoho!" Pekik Jio kesenangan sedangkan gadis kecil itu ketakutan bukan kepalang.

"Jio..." Panggilku yang membuatnya berhenti mengejar Beva.

Keluarga gadis itu tertawa meninggalkan aku yang malu akibat ulah Jio yang usil terhadap anaknya.

'°☆🌷♡•~


Gimana menurutmu cerita ini???

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pemulihan Luka Dengan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang