5

8 6 2
                                    

"Lo kaya bukan Aditya yang gue kenal." Tristan berucap setelah Tania keluar dari pintu.

Aditya melirik dari ujung matanya, sementara tangannya mengutak-atik ponselnya. Membuka salah satu aplikasi, lalu menekan tombol home. Begitu saja sejak beberapa saat lalu, membuat Tristan mendesah pasrah.

Sudah beberapa hari ini ia bersama sahabatnya dari jaman SMA. Memang tidak 24 jam berada di sana. Tapi setidaknya sebagian besar waktu luang—dan waktu yang sengaja ia luangkan—ia gunakan untuk berada di sini. Bahkan ia membawa pulang pekerjaannya untuk dikerjakan di sofa besar berwarna biru—yang senada dengan cat kamar—di pojok ruangan, dekat jendela.

Beruntung Aditya memiliki asuransi kesehatan yang memberikannya pelayanan VIP. Jadi, Tristan tidak perlu repot-repot tidur di tikar dan kedinginan. Ada sofa bed yang empuk, televisi, kulkas, desain kamarnya juga tidak tampak seperti kamar rumah sakit sepenuhnya.

Tristan tahu jika sahabatnya itu merasa terpukul saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tristan tahu jika sahabatnya itu merasa terpukul saat ini. Bukan karena cedera yang ia alami. Itu tidak seberapa, menurut dokter, dan akan sembuh dalam waktu tidak lebih dari satu tahun. Tapi ia sungguh ingin tahu dari sisi Aditya. Bagaimana sahabatnya itu kini. Hanya saja, pria itu terus saja diam. Tidak berkomentar apapun. Ada, sedikit. Tapi hanya itu saja.

Tristan memukul bahu Aditya, lalu duduk di sisinya, "Dit, gimana menurut lo?"

Aditya memutar kepalanya, alisnya meninggi, "Apanya?"

Tristan mendesah. Tangannya menunjuk ke pintu yang sudah tertutup. "Itu. Cewek tadi."

Aditya kembali menatap ponselnya, "Ada apa sama dia?"

Mulut Tristan terbuka sempurna. "Wah, gila lo. Cewek cantik kaya gitu. Biasanya juga pas ada Indah di samping lo, lo masih bisa lirik-lirik cewek lain."

Aditya mendelik ke arahnya. Tristan menutup bibirnya rapat-rapat.

Bodoh.

Aditya sudah mengembalikan ekspresinya, tapi Tristan tahu bahwa sahabatnya itu menutupinya kembali. Hal yang membuatnya berubah beberapa hari ini. Ia tahu Aditya masih belum bisa merelakan kepergian Indah, kekasihnya.

Tristan berusaha terkekeh, walau tampak aneh, "Yah, elo lupa? Setiap elo deket sama cewek-cewek, Indah dengan sabarnya cuma ketawa dan menganggap semua itu lelucon. Padahal, perempuan lain mungkin udah minta putus jauh-jauh hari. Rachel yang nempel terus sama elo aja masih dihadapi dengan senyum."

Rachel. Ya Rachel. Hingga detik ini Aditya masih menyesali hal itu. Andai saja ia bisa tegas, semua tragedi ini tidak akan terjadi.

Tristan sebisa mungkin tetap tersenyum, berharap ia tidak salah bicara. "Kalau elo enggak naksir, gue deketin enggak apa-apa, ya?"

"Gila, lo! Mana bisa begitu. Dia itu kan kerja di sini."

Tristan terkekeh, "Dia emang kerja di sini, tapi gue kan bukan pasiennya dia. Keluarga pasien juga bukan. Gue cuma lagi sial aja terjebak di sini gara-gara punya sahabat yang enggak bisa hidup tanpa gue."

Aditya menarik salah satu sudut bibirnya, "Sialan."



.

.

Gimana guys sejauh ini. ???


My EncouragementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang