Tania merebahkan dirinya di atas kasur empuknya. Tangan kirinya ia selipkan di bawah bantal kepalanya, sementara tangan kanannya ia bentangkan begitu saja sambal memegang ponselnya.
Kamarnya tidak terlalu besar, namun nyaman. Tidak terlalu banyak barang di sana. Hanya sebuah single bed, lemari dua pintu setinggi tubuh gadis itu, sebuah rak di sudut ruangan, sebuah kursi sofa, dan sebuah meja dengan laptop dan buku di atasnya.
Ia menghembuskan napasnya beberapa kali, menggelengkan kepalanya, lalu memejamkan matanya.
Aneh.
Satu kata itu yang ia gumamkan dalam hati ribuan kali.
Ingatan mengenai berbagai hal yang terjadi hari ini masih terekam jelas dalam ingatannya. Termasuk ketika ia membimbing terapi untuk Aditya. Awalnya ia pikir pria itu sudah sadar. Tidak lagi menjadi pribadi yang menyebalkan.
Tania salah. Ketika mereka sampai di ruang gym, tabiat jeleknya Aditya muncul kembali. Bahkan lebih parah. Ia memang tidak melakukan kekerasan fisik. Tapi, sikap menyebalkannya rasa-rasanya lebih membuatnya lelah.
Gadis itu menghela napas panjang, kemudian duduk. Tangannya meraih tas punggungnya yang tergeletak tak jauh darinya, merogoh sesuatu dari kantung kecil di bagian depan. Ia kemudian menggenggam benda persegi panjang yang baru diambilnya tadi dan menatapnya beberapa saat.
Sudah beberapa bulan ini, sejak ia memutuskan untuk tinggal di Jakarta, hubungannya dengan orang tuanya menjadi kurang baik. Sarah—ibunya—menginginkan Tania tetap tinggal di Bandung. Bukankah di sana juga banyak rumah sakit bagus. Tapi, Tania memiliki pemikiran lain. Ia tidak ingin terus-terusan menjadi beban untuk orang tuanya. Ia ingin mandiri. Lagipula di Jakarta akan lebih mudah untuk mengembangkan kemampuannya dibanding terus menerus berada di Bandung. Walaupun sebenarnya tidak menjadi masalah untuk berada di manapun. Dia hanya ingin pergi. Itu saja.
Jujur saja, ia merasa Bandung menghambatnya untuk berkembang. Bukan apa-apa, tapi berada terlalu dekat dengan kedua orang tuanya membuatnya kesulitan untuk melakukan apapun. Wajar, tipe orang tua Tania adalah tipe orang tua yang konservatif.
Lagipula, ia sudah jatuh cinta dengan kota ini, dengan segala kemacetan dan apapun yang menjadi ciri khasnya. Empat tahun lalu ia memulai berkuliah di sebuah universitas di Jakarta, dan hingga kini ia lebih memilih tinggal di sini. Bukankah waktu itu orang tuanya juga mendukungnya untuk mengambil kuliahnya itu, walau harus berjauhan dengan mereka. Bandung-Jakarta itu dekat. Tidak sampai empat jam untuk mencapai rumahnya jika tidak macet. Kenapa sekarang tidak bisa.
Tania kemudian menekan beberapa angka yang ia hapal di luar kepala, lalu menekan tombol dial. Hatinya berdesir ketika sebuah suara lembut menyapa telinganya. Suara ibunya. Ia rindu ibunya. Walau terkadang jengah, ia tetap rindu suara omelan ibunya, juga sentuhan ibunya.
Ibunya adalah orang yang paling setia untuk menjadi tempat Tania mencurahkan hatinya. Apapun peristiwa yang terjadi, hampir delapan puluh persen ia ceritakan. Bagaimana dua puluh persennya? Tentu saja tetap ada beberapa hal yang perlu ia simpan rapat-rapat, atau juga tidak dirasa perlu untuk diceritakan.
***
Suara bel berbunyi membuat Tania menghentikan aktivitasnya. Setelah mengobrol dengan ibunya lewat telepon, ia lapar. Namun, tanpa sadar sudah jam sembilan malam. Malas rasanya untuk keluar. Melihat isi kulkas yang masih lengkap, akhirnya ia memutuskan untuk memasak. Mi instan rasa kari, dimasak dengan telur dan susu, juga ditambah dengan sosis goreng dan ayam goreng tepung sisa kemarin yang ia panaskan dengan air fryer.
"Siapa malam-malam begini bertamu?" gumam Tania. Ia adalah orang yang berhati-hati dan tidak sembarangan membuka pintu. Apalagi untuk orang asing.
"Siapa?" Tania setengah berteriak dari balik pintu. Kakinya jinjit dan matanya melirik bundaran kaca kecil di sisi tengah atas pintunya. Olivia rupanya. Tangannya kemudian membuka kunci pintu.
Olivia memeluknya tepat ketika pintu dibuka.
Tania melepaskan pelukan Olivia, "Loh, kenapa, Liv?" Tania bingung. Olivia tampak habis menangis. Matanya merah dan sembab.
Tania menarik lembut tangan Olivia untuk mengajaknya masuk ke dalam dan membiarkannya duduk di sofa. "Bentar, ya. Nanti gue dengerin cerita lo kalau mau cerita. Gue lagi masak, udah mau mateng. Nanti sekalian makan, ya?"
Olivia mengangguk. Ia mengambil bantal di sudut sofa, dan memeluknya. Menunggu teman baiknya itu selesai memasak.
"Sini, Liv. Udah mateng nih. Tapi maaf ya makanannya gak banyak, soalnya gue tadinya niatnya masak buat gue sendiri. Kalau mau tambah nasi, di rice cooker masih ada ya. Siapa tau kurang, kan." ujar Tania seraya membawa panci berisi mi nya ke atas meja. "Lo udah makan?"
Olivia menggeleng.
Tania memberikan mangkuk beserta sendok dan garpu. Juga menyodorkan piring berisi tiga buah paha ayam goreng tepung dan sosis goreng ya baru ia keluarkan dari air fryer-nya.
"Jadi, ada apa?"
Olivia menghela napas dengan berat. Ia tampak berusaha menahan tangis. Tania tahu itu. Tapi apa alasannya?
"Gue putus sama Erik."
Tania menurunkan kembali sendoknya. Tadinya ia hendak mengambil mi, tapi ia urungkan ketika mendengar perkataan Olivia.
Tania tidak menjawab apapun. Ia menunggu dan tetap mendengarkan. Tidak peduli mi di hadapannnya akan dingin dan mekar.
"Kemarin, Erik pulang."
"Lalu?" Tania bertanya dengan hati-hati.
"Gue udah seneng banget. Bahkan saking senengnya gue sampai lupa ngabarin elo. Dadakan juga sih dia ngasih taunya." Olivia berhenti sejenak untuk meneguk air di hadapannya. Tenggorokannya terasa kering. "Dia ngajak ketemu hari ini. Tepat sebelum gue ke sini."
Tanpa sadar, Tania menggenggam sendoknya dengan keras hingga membuat tangannya kemerahan.
"Gue gak tahu, kalau dia udah 3 hari di Indonesia. Dia bener-bener gak ngabarin gue sampai hari ini baru ngajak ketemu." Satu tetes air mata mengalir dari pelupuk matanya. "Dia minta putus. Ada wanita lain, katanya. Gue gak tau dia siapa, dan kenapa harus Erik gue? Dia udah janji bakal nikahin gue, Tan."
Tania bangkit dari kursinya, berjalan menuju wanita di hadapannya, kemudian memeluknya. Membiarkan Olivia menangis. Tania sudah menduga ada hal aneh yang terjadi di antara mereka. Erik sudah susah dihubungi beberapa bulan ini. Bahkan hampir setahun. Kalau dari cerita Olivia sebelumnya, mereka mungkin hanya bertukar sapa seminggu sekali. Itupun hanya menanyakan kabar, atau rutinitas yang dilakukan hari ini. Hambar. Tidak ada kehangatan ataupun gairah. Namun, berulang kali terjadi, Olivia hanya meyakinkan diri dengan mengatakan bahwa mungkin Erik sedang sibuk. Begitu terus. Hingga hari ini akhirnya datang.
Tania tidak ingin menyalahkan Olivia. Tidak. Ia hanya memeluknya. Membiarkan wanita itu menangis. "Makan dulu ya? Nanti lo sakit."
Olivia mengangguk, "Malam ini gue nginep di sini ya?"
Tania tersenyum, "Bayar ya?"
Olivia mendengus, "Tega banget lo sama gue."
"Becanda, Liv."
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Encouragement
RomanceIni semua adalah fiksi. Segala kesamaan nama, karakter, tempat, maupun kejadian semuanya hanyalah imajinasi dari penulis saja. . . Young adult + Romance . . Ketika dua insan yang memiliki masa lalu masing-masing dipertemukan dalam kondisi yang suli...