Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bangun siang tanpa harus memikirkan konsekuensi atau beban pekerjaan lainnya, terlebih saat mengetahui bahwa jatah bangun siangmu masih ada dua hari lagi. Bekerja sebagai legal staff perusahaan memang merupakan bagian dari cita-citaku, tapi aku juga masih manusia yang banyak mengeluh, termasuk mengeluhkan jadwal kerja yang full Senin sampai Jumat, banyaknya dokumen terkait regulasi yang harus dipelajari, bahkan pekerjaan yang harus dibawa ke rumah karena mengejar tenggat waktu untuk diselesaikan.
Repot sih memang, tapi aku suka, ya bagaimana? Lagipula penghasilannya lumayan.
Sayangnya, bangunku kali ini agak terinterupsi karena penyebabnya bukan matahari yang mencuri masuk ke celah jendela. Oh ayolah, si pemilik kamar tempatku menginap saat ini cukup bermurah hati dengan tidak membuka tirai jendela terlepas fakta bahwa hari sudah siang. Penyebabnya adalah karena ia tahu bahwa penumpang kamarnya, aku, benci kesilauan. Sebagai gantinya, aku malah terbangun karena sayup-sayup suara lantunan lagu milik Ed Sheeran yang aku tidak ingat judulnya, serta suara Delroy--si pemilik kamar yang mengikuti lantunan lagu walau ditambah dengan improvisasi tak penting.
Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di luar kamar ini. Mungkin menonton, atau menyapu, atau hanya duduk sambil bernyanyi, yang jelas bukan memasak karena Delroy bukan tipe yang suka memasak. Aku juga tidak bisa memasak sih. Bahkan lebih parah dari Delroy, tapi setidaknya aku tidak pernah membuat teflon anti lengket hangus dan dapur nyaris terbakar karena ingin membuat steak sendiri.
Kalau aku sih, daripada nekad mencoba hal yang tidak aku ketahui pasti hasilnya seperti apa, lebih baik tidak usah mencoba sama sekali. Terdengar pesimis, ya? Sebut saja begitu, tapi aku hanya ingin melindungi diri.
Kembali pada kegiatanku sebagai penumpang yang tahu diri karena sudah dibiarkan menginap, aku merapihkan tempat tidur Delroy. Aku menata kembali tempat tidurnya seperti semula, dan juga mematikan AC sebelum aku keluar dari kamar.
"Udah bangun, bu?" ledeknya padaku saat kenop pintu kubuka. Aku mendapatinya sedang berada di pantry, entah berbuat apa karena terhalangi oleh punggungnya.
"Lo ngapain sih, Dey?" tanyaku ragu, sebab tampaknya Delroy atau yang akrab kusapa Dey sedang memasak. Aku menyusulnya ke dapur, dan benar saja, ia sedang menggoreng telur.
"Kalau ada apa-apa gue gak tanggung jawab ya!" aku memperingatkannya selagi berjalan ke arah ruang tengah.
"Cuma goreng telor elah. Lebay amat." protesnya dari dapur sana. Tidak lama kemudian, Dey datang dengan satu piring yang diisi dengan dua buah roti isi buatannya. Bagus sekali. Kebetulan aku sedang lapar.
"Ambil minumnya sana!" suruhnya. Aku meniru ucapannya, meledek, namun tetap melakukan sesuai permintaannya.
Ia sudah menggigit rotinya saat aku tiba. Namun, saat aku duduk di sebelahnya, aku mendengarnya berdecak di tengah-tengah kunyahannya. Ia tiba-tiba saja membalikkan tubuhku. Awalnya aku ingin protes, namun saat aku sadar apa yang hendak ia lakukan, aku menarik kembali kata-kata yang sudah kusiapkan.
Dey memperbaiki kaitan bra di balik tanktopku. Aku malah sibuk asik mengunyah roti yang ia buat. Agak terlalu berminyak dari telur gorengnya, tapi tak apalah. Aku malas mendebat. Selesai dikaitkan, aku kembali pada posisi awalku, total pura-pura tidak melihat ekspresi sebal Dey terhadapku.
"Dikaitin dulu kek! Kan udah gak tidur."
"Sensi amat? Biarin sih, orang bentar lagi mandi." balasku lebih jutek darinya barusan.
Ekspresinya mendadak berubah mendengar alasanku barusan. Benar saja, ia langsung bertanya sesaat kemudian, "Mau mandi? Emang mau langsung pulang?"
"Iya. Gue ada janji sama Andrew." balasku jujur.
"Kemana?"
Aku menoleh ke arahnya dengan tangan yang masih menyuap roti isi ke dalam mulutku. Aku menatapnya aneh, kemudian aku balik bertanya. "Jalan lah. Emang kenapa?"
Delroy tidak menjawab. Ia hanya bergumam samar. Amat samar, mungkin karena mulutnya sedang dipenuhi dengan roti isi hingga pipinya menggembung. Entah lah. Aku terlalu malas memikirkan itu.
"Kalau mau gue jemput, bilang."
"Gue pergi sama Andrew, masa pulang sama lo? Entar dia yang anter gue pulang."
Delroy tidak langsung menjawab. Ia menegak air di dalam gelasnya, lalu membalas ucapanku barusan. "Ya kan siapa tau. Lagian emang lo bawa baju buat jalan?"
"Enggak lah. Semalem kan gue cuma bawa tas kecil ke sini. Lagian bukannya ada baju gue ya di sini? Atau jangan-jangan udah lo buang?" tanyaku dengan nada jutek sambil menatapnya sinis. Hanya bercanda. Seabstrak apapun kelakuanku, aku yakin Dey tidak akan berbuat sekejam itu padaku.
"Ada di lemari."
"Nah gitu dong. Yang gue pake sekarang gue tinggal ya? Nanti gue ambil kalau gue ke sini lagi."
"Cuci sendiri dulu!"
"Iya, iya, gue cuci."
"Sekalian boxer gue ya? Cuma tiga biji kok."
Aku memandangnya sinis. "Jorok!"
"Jorok, jorok, kayak gak pernah pegang aja!" balasnya tak kalah ngotot. Walau terdengar tak kalah nyolot, tapi lihat deh, telinganya memerah karena malu.
"Ck. Nyusahin!"
"Anggap aja imbalan buat tumpangan sama sarapan." ucapnya yang berlalu ke arah wastafel cuci piring dengan piring dan gelas kami tadi.
"Ya, tunggu sebentar lagi. Gue napas dulu."
Aku menyandarkan punggungku pada sofa. Disusul oleh Dey yang sudah selesai mencuci piring kami duduk di sebelahku, lalu menyandarkan kepalaku pada bahunya. Aku memperbaiki posisiku supaya bisa lebih aman bersandar pada bahunya.
"Nanti lo dijemput Andrew ke sini?"
Aku menautkan jemari kami, lalu mengangguk. "Gak ke sini juga. Gue nunggu di halte depan."
"Oh." balasnya singkat.
Aku masih menautkan jemari kami yang terjalin di atas pahanya. Kemudian aku memiringkan kepalaku mendekat ke arah dadanya dan menghirup aroma khas dari Delroy.
"Nanti mau jalan ke mana sih sama Andrew?"
"Paling nonton, makan, nongkrong. Ya biasa." balasku yang mulai malas. Aku paling tidak suka dengan sisi Dey yang satu ini. Banyak tanya.
"Itu doang?"
Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Merasa heran dengan pertanyaannya barusan. Padahal aku yakin betul tidak ada satupun pilihan kata yang aku pilih mengandung makna ambigu.
"Ya iya, emang ngapain lagi?" tanyaku sinis.
Delroy hanya menggeleng, lalu menarik tubuhku lebih dekat dan mengecup puncak kepalaku. Genggaman jemari kami mengerat dan aku tidak mengeluhkan hal itu sama sekali.
Aku mengerti maksud pertanyaan Delroy, tapi tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak berusaha menjelaskan. Walau hubungan kami aneh, tapi aku juga menetapkan batasanku. Selain dengan Delroy, aku tidak tidur dengan siapapun. Ciuman saja tidak. Kalau pipi dan kening ya masih bisa ditoleransi lah. Namanya juga ibu kota. Who does not kiss their friends anyway? Selebihnya, tidak sama sekali.
Aku terlalu naif untuk mengatakan bahwa itu adalah bentuk setiaku. Ayolah, aku dan Delroy bahkan tidak memiliki status apa-apa yang mewajarkan atau melarang kami melakukan hal-hal tertentu, hanya saja aku tidak mau mengambil resiko seperti sakit atau apalah itu.
Lagipula aku bukan maniak juga. Untuk urusan tertentu, Delroy cukup buatku. Hanya urusan tertentu. Selebihnya ya aku juga perlu bersenang-senang dengan orang lain. Salah satunya dengan Andrew.
Aku merasakan Delroy menjauhkan dirinya dariku. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke arah kamar sembari berucap. "Mandi gih. Nanti handuk sama bajunya gue siapin."
Helaan nafasku keluar begitu saja. Delroy sedang mengambek dan aku bisa lihat itu, hanya saja aku memilih untuk tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Toh sudah biasa. Aku juga tidak tahu alasannya apa. Yang jelas, aku harap alasannya bukan karena ia cemburu, ya. Aku tidak mau repot dengan perasaan siapapun, apalagi Delroy. Sebab buatku kehilangan Delroy bukan opsi yang bisa aku hadapi, jadi sebaiknya baik dia ataupun aku tidak memiliki perasan lebih terhadap satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Your Arms
FanfictionRachael dan Delroy, sepasang muda-mudi yang sudah terlalu lamaa bersama walau tidak ada status di antara mereka. Antara takut kehilangan dan takut salah satu diambil orang.