r: old friend

6 0 0
                                    


Suara derit pintu kaca yang kudorong beriringan kompak dengan netraku yang menyisir dengan cepat seisi ruangan yang tanpa membutuhkan waktu lama berbuah manis, yakni penampakan kawan lamaku, Marvel, yang sudah duduk di salah satu meja.

Ketika mata kami bertemu, kami refleks bertukar senyum seraya aku berjalan ke tempatnya. Ia menarik bangku dan mempersilakanku duduk. Saat aku sudah duduk, ia yang karakternya masih sama seperti dua tahun lalu meraih tanganku dan mengecup punggung tanganku seraya melayangkan senyuman. Tampaknya bahkan dua tahun di Melbourne tidak mengubah kebiasaannya yang satu itu.

Oh ya, sekedar informasi, Marvel ini adalah teman kuliahku dulu. Kami kenal karena satu kelompok ketika ospek, dan semakin dekat karena satu jurusan dam cukup sering ada di dalam kelompok tugas yang sama. Begitu lulus kuliah, ia langsung melanjutkan studi ke Australia dan baru kembali ke indonesia. Ia tahu banyak tentangku, dan demikian dengan sebaliknya. Dulu orang sempat mengira kami adalah sepasang kekasih saking kemana-mana serba berdua. Kami tidak pernah membantah hal tersebut. Bukan karena sengaja untuk membuat ambigu, tapi sangat sulit meyakinkan orang bahwa perempuan dan laki laki bisa berteman tanpa melibatkan perasaan. Pada akhirnya, pendapat tersebut terbantahkan karena aku memiliki kekasih.


"You never changed, huh?" aku menarik salah satu sudut bibirku, bertanya dengan iseng perihal perilakunya tadi.

Aku tidak tersinggung, tidak juga tersipu. Memang Marvel seperti itu kok. Aku hanya pikir kebiasaan tersebut ia hilangkan, apalagi karena kami sudah lama tidak bertemu.

"If i did, gue gak bakal temenan sama lo lagi." balasnya dengan nada yang sama bercanda. Aku tertawa mendengar jawabannya.

Salah satu hal yang membuat pertemanan kami awet adalah selera humor kami yang sama. Kami saling melempar sarkas alih-alih berbicara serius. Kami sangat jarang menggunakan kalimat umum seperti makasih ya udah bantu gue. atau ada yang mau lo ceritain? sebagai gantinya, kami biasanya berucap, gue ga butuh lo bantu sih, tapi makasih deh. atau perlu bantuan dari konselor gratis gak? Seperti saat ia mengajakku bertemu. Alih-alih mengajak bertemu seperti umumnya ia malah berkata, "Gue mau pamer abis laser deh, Sa. Sekalian nongkrong cantik kali, ya?"

Aneh kan? Tapi percaya lah, aku sendiri merasa nyaman dengan komunikasi seperti itu. Tidak ada yang perlu ditutupi apalagi dipalsukan, tapi di satu sisi juga kami berpegang teguh pada batasan kami.


Marvel ada benarnya sih. Sejak ia ke Melbourne, kami hampir tidak pernah berkomunikasi. Paling hanya sekedar saling membalas insta story, itu pun tidak pernah berlarut. Aku juga cukup kaget sebenarnya saat beberapa hari lalu Marvel mengatakan bahwa ia akan pulang ke Indonesia dan ingin mengajakku bertemu.


Aku mendecak sebal. Hanya bercanda, lalu tidak lama aku dengar dia memanggil pelayan untuk mencatat pesanan kami. Sehubung ini adalah restoran pilihannya dan aku belum pernah ke sini sebelumnya, aku membiarkannya memesan makanan untuk kami.


Dari semua teman laki lakiku, Marvel adalah yang paling unik. Moto hidupnya sangat sederhana. Kalau iya ya iya, kalau tidak ya tidak. Tapi ada kalanya kesederhanaannya itu malah menjadi bumerang. Ia jadi terlalu anggap sepele akan orang dan keadaan.

"How have you been?" ah akhirnya pertanyaan normal muncul juga di tengah-tengah dialog kami. Dulu kami bahkan tidak perlu repot-repot untuk bertanya kabar. Ya bagaimana mau menanyakan kabar? Orang semasa kuliah kami hampir selalu bersama kok. Cukup dengan ekspresi wajah kami dapat membaca perasaan satu sama lain. Dalam banyak kasus sih aku yang sering murung, Marvel mah menjalani hidup dengan kelewat santai. Jarang memiliki beban.

Into Your ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang