Cape banget. Kalah di lomba paling diinginkan. Pelajaran di kelas susah paham, udah bodoh ga bisa les karena ekonomi. Tiap hari insecure dan overthingking. Selalu mikir, 2024 bisa ga aku masuk PTN impian?And here iam! Menjadikan wattpad sebagai pelarian. Sayang kalian banyak-banyak vinicius ♡
#authornumpangcurhat
.....................................................................Masih belum ada yang membuka pembicaraan. Katakan padaku, apa tidak sopan menanyakan keluarga orang padahal dia sepeti tidak ingin membicarakannya?
Masalahnya begini. Meski ini tentu bukan hal pertama bagi Harry (melakukan peran ayahnya) karena dia sudah melakukan hal itu mungkin sejak umur sepuluh tahun. Tapi wajahnya terus murung. Aku tidak pernah melihat Harry semurung itu. Karena memang aku tidak pernah melihatnya murung. Jadi kupikir dia butuh hiburan. Tapi bahkan Genia enggan mengusik.
Sebagai pilihan bijak aku memilih diam dan mengikuti bak anak bebek di belakang.
Kediaman Oxley sudah jauh, tidak terlihat lagi. Kami kembali memasuki jalanan pusat kota. Sepertinya lokasi tujuan kami teramat penting. Kami memasuki area dengan keamanan tinggi. Banyak prajurit bersenjata lengkap mondar mandir membawa senjata. Seseorang berniat mencegah kemudian urung saat melihat Harry.
Salah satu penjaga melihat kami dan bergegas. Gerbang besar dan tinggi terbuka mempersilakan kami masuk.
Pria berbadan besar tergopoh-gopoh menghampiri Harry. Pakaiannya tidak seperti prajurit lain, jadi kuasumsikan dia bukan prajurit.
"Sudah lama sekali Anda tidak berkunjung," ucap pria itu sopan. Ada nada segan dalam ucapannya. Tubuhnya sedikit membungkuk.
"Kau merindukanku, Jace?" Harry menepuk punggungnya. Aku menahan nafas membayangkan Jace marah dan menciptakan dadar Harry.
"Tentu Tuan," balas Jace singkat. Aku tercengang.
"Tapi aku tidak. Aku pengen ketemu paman, nih. Penting," kata Harry jenaka. Moodnya sudah kembali sepertinya. "Bisa, kan?"
Jace menunduk. "Sesuai keinginanmu, Tuan."
Jace menuntun kami memasuki kastil besar dan megah. Kota Soleil memang kota termasyur kedua setelah kota Eamon. Aku cukup maklum karenanya saat melihat isi dalam kastil yang megah.
Jace ternyata penasaran dengan kami. Dia terus-terusan melirik ke belakang. Tentu dia harus waspada terhadap semua pengunjung kastil. Tapi datang bersama Harry memangnya belum cukup?
"Kau sudah mengenal temanku, Jace."
"Nona Luvenia tentu sudah," dia mengakui. Aku terkejut mendengar nama belakang Genia. Jace melirikku. "Anda mempunyai banyak teman, tuan."
"Ah, ya! Dia jagoan kami," Harry menarikku. Memamerkan seperti barang kualitas terbaik. "Ini Elis Maxwell. Nah, Elis beri salam pada orang tua."
Aku kikuk. "Halo, Jace. Kau sudah tau namaku. Panggil Elis saja."
"Tentu, nona Maxwell," dia menghela nafas. "Tuan, saya tidak setua itu. 29 tahun! Lajang!"
"Ya, ya. Tiga bulan lagi usiamu 30. Tua," ejek Harry.
Betapa sabarnya Jace menghadapi Harry. Aku tidak tau sudah berapa lama mereka berkenalan. Tapi Jace layak mendapat kenaikan gaji untuk kesabarannya.
"Jangan usil begitu pada Jace," tegur Genia. "Dia baik tidak membuatmu penyek."
Jace mendengar. "Oh, saya tidak berani nona."
"Tidak papa Jace. Kita bisa duel setelah ini."
"Tuan tolonglah. Tidak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ELIS MAXWELL : Prison Of Night
Fantasi#Seri kedua Elis Maxwell -------------------------- Di musim semi ini, seharusnya tahun kedua di Aelivory dimulai. Tapi Elis Maxwell masih belum menerima kabar dari Letopeia. Kedua sahabatnya, Celine dan Malvia menghilang. Setelah surat yang ia teri...