4. DARK

28.9K 1.9K 30
                                    

Suara langkah terburu-buru tampak terdengar dari luar rumah. Samudera yang sedang duduk di ruang makan dan tengah menyantap makanannya itu kini mendecih. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi setelah ini. Siang ini adalah hari pertamanya bersekolah di Jakarta. Tetapi, bukannya berbaik-baik dengan teman sekelasnya, Samudera membuat keributan lagi.

Kali ini, lawannya adalah lelaki bernama Andrew.

Samudera tak tahu siapa dia. Bertemu saja baru hari itu. Tetapi, setelah bertengkar hebat, Samudera baru tahu bahwa konon katanya, lelaki sialan itu adalah salah satu anak donatur sekolah.

Lalu, kenapa? Apakah itu penting? Apakah karena posisi Andrew sebagai anak donatur membuat lelaki itu bisa bersikap sesuka hatinya?

"Samudera!" Teriakan itu menggema dari pintu masuk.

Samudera menarik napas. Menyiapkan telinga untuk omelan panjang dari lelaki berusia empat puluhan akhir yang masuk ke dalam rumah dengan wajah marah.

"Apa yang kamu lakukan, hah? Ribut lagi di hari pertama masuk sekolah?"

Samudera meletakan sendok dan garpunya. "Dia berencana ngerjain aku, menurut Papa, apa yang bakalan aku lakuin?"

Sang ayah melotot. "Nggak seharusnya kamu ngehajar dia, Samudera!"

"Terus? Aku harus terima aja?" Samudera meninggikan nada. Ia mengambil tongkatnya lalu berdiri dari kursinya berencana pergi dari percakapan yang jelas tak akan pernah bisa ia menangkan.

Tetapi, belum selesai berbalik, satu tamparan melayang di pipi kirinya. Tamparan itu menimbulkan bunyi yang cukup keras. "Papa nggak ngerti kenapa kamu yang harus hidup, hah! Kenapa nggak mamamu dan Khafa saja?"

Samudera menahan napas. Tamparan itu mengingatkannya pada kejadian yang sama satu tahun lalu. Rasanya menyakitkan, tetapi bukan pipinya yang sakit. Hatinya yang hancur untuk ke sekian kalinya.

Sesak memenuhi dada. Rasanya, ia juga ingin mati seperti apa yang ayahnya katakan. 

Kejadian itu masih terekam jelas di dalam memorinya. 

Langit sudah menggelap ketika pelatih membubarkan para pemain basket yang berlatih sejak sore tadi. Pertandingan akan dilakukan dua hari lagi dan semakin mendekati harinya, latihan terasa begitu intens. Salah seorang laki-laki bertubuh Asia dengan badan lumayan tinggi berjalan keluar.

Gayanya begitu khas. Tubuhnya yang tegap terbalut dengan jaket varsity sekolahnya yang berwarna biru tua. Tas olahraga tersampir di bahunya kanannya. Ia berjalan dengan arogan di sepanjang lorong yang penuh dengan remaja kaukasia dengan rambut pirang atau cokelatnya.

Matanya yang lebih sipit dari teman-temannya semakin menyipit taktala melihat sebuah mobil sedan warna hitam terparkir di depan sekolah. Ia tersenyum ketika melihat si pengemudi melambaikan tangannya.

"Samudera!" teriak si pengemudi.

Samudera, lelaki yang baru keluar dari sekolah itu berjalan cepat. Ia memandang kaget si pengemudi. "Lo beneran jemput, Khaf?"

Khafa tertawa kecil. "Ya, gue sekarang di sini artinya beneran jemput nggak sih?"

Samudera ikut terkekeh. Khafa adalah kakak lelakinya yang lebih tua lima tahun. Saat ini ia sedang menempuh tahun terakhirnya di University of Washington.

Sebagai mahasiswa tahun terakhir, Khafa terlihat begitu sibuk. Walaupun tinggal dalam apartemen yang sama selama setahun terakhir, mereka jarang bertemu. Khafa lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk mengerjakan makalah atau tugasnya.

"Thank God! Gue nggak harus naik bus malam-malam!" Samudera berucap asal.

Khafa tersenyum kikuk mendengar ucapan adiknya. Umur Samudera yang  saat ke Amerika masih berusia lima belas tahun membuat si adik tidak bisa mengendarai mobil dengan bebas. Tetapi, di saat usia Samudera sudah memasuki enam belas tahun yang di mana legal di Amerika Serikat untuk mengendarai mobil, ayah mereka tak kunjung membelikan Samudera satu mobil seperti dirinya.

PERFREAKTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang