Bagian 2

21 3 0
                                    

Kadang jadi berani tuh nggak perlu apa apa, cuma cukup jadi orang yang mau menerima konsekuensi dan cukup nekat

✾✾✾✾

Tama

Dalam hidup gue, gue selalu percaya bahwa manusia hidup dengan cara memilih. Bukan pasrah, dan memilih artinya lo siap untuk menerima konsekuensi. Tapi kadang gue bingung aja, ko bisa bukan kita yang memilih tapi kita yang dapet konsekuensinya. Aneh nggak sih?

Misal,

Orang lain buat kesalahan, tapi lo yang nanggung.

Masih nggak paham?

Contoh,

Nyokap bokap lo berantem, siapa yang kena imbas? Lo kan? Padahal lo nggak memilih pertengkaran itu. Atau lo nggak pernah mau untuk ada pertengkaran itu, tapi tetep aja lo kena imbasnya. Itu yang gue maksud.

Makanya gue benci, kalau liat seseorang enggak mau berontak.

Kalau liat seseorang yang pasrah pasrah aja.

"Tar malem cabut nggak?" katanya basa basi. Karna gue yakin Yolen emang nggak maksud ngajak gue, dia cuma mau basa basi aja kaya biasa, sambil mikir siapa tau Tama mau ikut.

Gue langsung mengangguk setelah mendengar pertanyaan Yolen, "Iya, tar nyusul." kata gue. Yolen kayanya kaget, soalnya emang nggak gue banget buat pergi ikut mabok.

"Napa lagi, lo?"

Gue menggedikan bahu santai, "Biasa."

"Dan lo masih nggak mau lepasin dia?"

Mau kok.

"Nggak segampang itu, anjir?"

Cuma ya, gue nggak bisa aja.

"Se cinta apasih lo sama dia? Heran gue. Tapi lo udah masuk ke taraf tolol, bukan bulol." katanya dengan wajah julid yang kentara banget. Dan gue cuma ketawa buat respone Yolen.

Lo pasti pernah ada di waktu kena skakmat tapi lo menerima itu, makanya lo ketawa. Bukan ngetawain lawan lo, tapi ngetawain diri sendiri karna itu emang bener. Dan hal menyedihkannya adalah itu bener. Makanya gue cuma ketawa, soalnya mau segimanapun gue ngebela diri gue nggak tolol, faktanya gue memang setolol itu.

Yolen menyesap rokoknya lamat lamat, gue lagi ada di kawasan Kemang, nongkrong di salah satu kafe yang ada di situ. Jalanannya cukup rame, cafenya juga. Ramai banget sama pengunjung, otak gue juga ramai memikirkan semua hal tentang masalah kehidupan. Tapi anehnya, hati gue kosong. Nggak berdebar, nggak menenangkan, kaya, ya ... kesepian aja gitu... padahal gue ada di tempat yang emang rame banget. Sampai akhirnya gue denger Yolen berbicara, yang bikin gue kembali sadar sama realita.

"Tapi cinta bukan pengorbanan, Tam," katanya setelah mengeluarkan asap dari mulutnya. "Cinta itu cuma perihal menerima dan mengikhlaskan, kalau lo berkorban. Lo bukan cinta, lo cuma egois, lo cuma memenuhi gengsi lo sendiri."

Gue diem menyimak, memperhatikan Yolen yang kembali menyesap rokoknya, "Karna kalau berkorban adalah cinta, lo akan dan selalu menyakiti diri sendiri. Padahal cinta nggak pernah bilang kita harus menyakiti diri sendiri, buat dapetin cinta itu."

"Coba lo tanya lagi sama hati lo, lo masih cinta dia, lo memang cinta dia dari dulu, lo cuma mengasihani dia, lo merasa sayang sama hubungannya doang, karena udah terlanjur lama, atau lo cuma ngga mau kesepian aja. Tapi kalau emang opsi terakhir adalah jawaban lo, emangnya ada dia lo merasa nggak kesepian? Atau... pertanyaannya gue ubah deh, lo bahagia nggak sama dia?"

Lo bahagia nggak sama dia?

Gue merasa hari itu Yolen berisik, berisik banget sampe sampe bikin otak sama hati gue mikir, mikir keras buat tau jawabannya. Pertanyaan yang menurut gue lebih susah dari quiz yang di kasih sama Pak Diki. Dan jawaban itu nggak gue jawab. Nggak pernah gue jawab.

Like The StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang