Bagian 4

9 1 0
                                    

Berani itu bukan cuma tentang lo nggak merasa takut, tapi juga tentang lo merasa takut cuma lo berani untuk menghadapi itu dan menerima rasa takut lo. Itu juga bagian dari meras berani.

✾✾✾✾

Tama

Gue pengen deh, jadi seseorang yang selalu berani. Yang enggak punya rasa takut, tapi rasanya nggak mungkin lah anjir manusia nggak punya rasa takut. Karna rasa takut menurut gue adalah salah satu emosi yang bisa mendorong seseorang untuk jadi lebih berani, untuk nggak jadi pecundang yang selalu ketakutan.

Itupun kalau ternyata lo memang sukses mengelola emosi itu.

Kalau enggak?

Riwayat lo akan tamat. Gue jamin itu.

Karna ketika lo menjadi seseorang yang terlalu takut sampai nggak punya keberanian, lo akan menjadi pecundang cupu selama lamanya. Lo akan menjadi orang yang lemah.

Tapi rasa takut dan keberanian itu nggak pernah bisa kita ukur, lo ataupun gue nggak akan pernah tahu sejauh apa dan sedalam apa rasa takut seseorang, sama kaya rasa berani.

Sialnya gue adalah salah satu pecundang cupu.

Yang nggak pernah berani, yang selalu takut. Takut kehilangan. Lagian siapa sih manusia yang nggak takut buat kehilangan? Kalau ada manusia kaya gitu, gue mau dong di ajarin biar jadi kaya dia. Gue mau untuk nggak melulu punya rasa takut.

Karna rasanya sakit.

Saat lo kehilangan sesuatu, saat lo ditinggalkan sesuatu.

Seperti Ibu yang meninggalkan gue.

Rasanya sakit.

Waktu lo udah sangat ketergantungan sama sesuatu, disitu kelemahan lo akan muncul. Kelemahan gue adalah Ibu. Siapa sih yang nggak sayang Ibu? Durhaka kali kalau ada orang nggak sayang sama Ibu. Makanya, buat gue, Ibu adalah napas gue, udah bukan lagi dunia gue, tapi napas. Karna kalau nggak ada Ibu, gue mana bisa hidup. Tanpa Ibu gue nggak akan bisa menghadapi dunia, karna gue nggak bernapas.

Gue menyayangi Ibu lebih dari apapun.

Tapi ternyata rasa sayang gue untuk Ibu aja nggak cukup.

Karna Ibu pergi, meninggalkan gue dengan dunia yang udah berantakan.

Ternyata gue masih bisa hidup ya tanpa Ibu. Itu pemikiran gue waktu umur gue 15 tahun. Setelah 8 tahun gue ditinggal Ibu, gue baru bisa berpikir gue masih hidup di umur ke 15 tahun.

Beranjak dewasa di umur 19 Tahun gue mulai berpikir ulang tentang pernyataan gue yang bilang gue masih bisa hidup tanpa Ibu, karna gue mulai bertanya tanya.

Apa rasanya menjadi manusia yang merasa hidup?

Karna rasa rasanya kok gue hampa ya, gue merasa kosong, gue hidup tapi berantakan. Gue hidup tapi nggak punya tujuan, gue hidup bukan karna mau, tapi karna harus. Karna Ibu yang memaksa gue harus tetap hidup, mau sekacau apapun dunia gue, gue harus hidup.

Sekalipun nggak ada Ibu.

Karna Ibu menginginkan gue untuk hidup.

Ternyata menaruh ketergantungan pada seseorang yang kita sayang juga enggak baik, gue hancur waktu Ibu pergi. Tapi tahu apa yang sakit?

Waktu lo sedih karna ditinggal seseorang yang lo sayang, tapi lo tahu. Kalau lo sedih, orang yang lo sayang juga akan ikut sedih, jadi gue nggak pernah punya waktu untuk bisa meratapi kehilangan Ibu, untuk bisa bersedih atas duka.

Gue nggak pernah diberi kesempatan untuk itu.

Karma gue nggak mau lihat Ibu sedih.

Dulu, waktu Ibu masih ada, gue lupa kapan, tapi gue inget. Waktu itu gue masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi lupa kelas berapa. Sama seperti seorang Ibu yang menjadi guru pertama untuk anaknya, Ibu gue juga begitu. Ibu yang duluan ngajarin gue caranya bersepeda.

Like The StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang