Prolog

66 3 0
                                    

Prolog.
 
 
 
Masa SMA merupakan masa yang penuh dengan lika-liku remaja. Masa dimana para remaja akan mengalami transisi menuju dewasa. Masa yang katanya telah banyak menampung kenangan indah serta kenangan manis para remaja. Mungkin tidak semua berpikiran seperti itu, tapi setidaknya banyak remaja yang menganggap masa SMA adalah salah satu pengalaman paling berkesan yang harus diingat dan diabadikan sebanyak mungkin.

Sama halnya dengan seorang remaja cantik penuh talenta, Alana Riandra, yang sudah melalui banyak hal menyenangkan di tahun pertamanya di SMA. Namun Alana tidak ingin menghabiskan masa SMA-nya dengan hanya bersenang-senang, dia ingin memanfaatkan masa SMA-nya dengan sebaik mungkin. Dia ingin menari dan menciptakan banyak kenangan indah, agar suatu saat jika dia mengingat kembali masa-masa itu, hanya senyuman yang akan terukir di bibirnya.

"Naa? kamu ngelamun?"

Alana terhenyak, tersadar dari lamunan singkatnya. Gadis itu menoleh sembari tersenyum manis kearah Mamanya yang sedang menyetir.

"Hehe gak kok Ma, cuma mikir doang, dikit." sahut Alana memperbaiki posisi duduknya.

Rania, mama Alana tersenyum tipis sembari melirik singkat putrinya itu. "Mikirin apa emang? soal kelas lagi?" tanya sang Mama.

Alana menghela nafas panjang, tanda bahwa tebakan mamanya benar. "Iya Ma, malesin banget padahal aku udah nyaman sama kelas lama." lirihnya memasang wajah sendu.

Rania terkekeh, mengelus pelan kepala putrinya itu. "Gausah terlalu dipikirin ah, kan udah peraturan, lagian sama Dinda kan cuma beda kelas bukan beda sekolah."

Alana hanya mengangguk singkat menanggapi mamanya, dia lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil, memilih untuk menikmati pemandangan jalanan kota Jakarta yang tidak pernah sepi. Sorot matanya menangkap sebuah motor sport berwarna hitam mengkilap yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi melambung mobil mereka. Alana bergidik ngeri, bisa-bisanya ada manusia yang tidak sayang nyawanya seperti itu.

Si pemilik motor melaju dengan kencang, membelah padatnya kota Jakarta. Tanpa ragu menyalip kendaraan beroda empat, seakan itu sudah menjadi hal biasa. Itu memang sudah biasa bagi si remaja tampan dengan sejuta pesona bernama Barasta. Bukan, Bara bukan cowok yang suka tebar pesona, tapi Bara itu penuh pesona. Dia adalah salah satu dari jajaran pemuda-pemuda tampan berhati dingin yang diidolakan oleh banyak perempuan.

Lengkap dengan seragam sekolahnya Bara mengendarai motornya dengan tidak santai. Padahal dia bisa saja berkendara dengan lebih pelan, karena jam masuk sekolahnya pun masih dua puluh menit lagi.

Pemuda itu baru menurunkan laju motornya saat ponselnya bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk. Tanpa menepikan motornya, Bara mengangkat telepon itu dengan satu tangan lalu menyelipkan ponselnya disela-sela helm dan telinganya.

"Oi Bar? dimana? belum nyampe? masih lama gak?" tanya seseorang diseberang sana bertubi-tubi.

"Bentar lagi, lampu merah terakhir." sahut Bara santai.

Terdengar decakan kesal dari seberang sana. "Yaelah lama."

Bara berdehem pelan, tak menjawab. Dia sibuk mengejar lampu merah yang sebentar lagi akan berganti lampu hijau.

"Cepetan ya, dicariin bang Bian."

"Yoi."

Bara langsung meraih ponselnya dan mematikan telepon itu sepihak, meletakkan kembali benda persegi itu ke saku jaketnya dan mulai menancap gas begitu lampu merah berubah hijau.

_______

Hai everyone...
Sebelum lanjut aku mau ngasih tau kalau cerita ini tuh akan mengangkat unsur seni tentang music, dancing, theatre dan banyak seni performance lainnya...
Aku sendiri gak punya banyak pengetahuan dibidang seni performance, dan semua unsur seni yang ada dalam cerita ini pure hasil searching yang aku lakukan selama proses ngetik :)
Aku juga ngambil referensi dari berbagai sumber untuk cerita ini ><
Jadi kalau misalnya ada yang aneh, janggal atau kurang, bisa dibantu benerin yaa 😭🤸🏻

Thanks...

Beyond The Limit [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang