Chapter 3

16 1 0
                                    

3.
 
 
 
Alana berjalan menuruni tangga dengan terburu-buru. "Mah! Aku mau main ke apart Dinda yaa...!" teriaknya sambil mengecek jam yang melingkar ditangannya.

Rania yang sudah berada dilantai bawah tengah bersiap-siap lantas melirik kedatangan putrinya yang mengenakan hoodie oversize dan tight pants berwarna hitam.

Wanita itu tersenyum lembut, "Loh kok baru bilang sih kalau mau ke apartemen Dinda? Yaudah yuk sekalian Mama anter."

"Hehe lupa tadi, tapi katanya Mama mau jalan jam delapan?" tanya Alana sambil memperhatikan Mamanya dari atas sampai bawah.

Rania tersenyum simpul. "Iyaa tadinya mau jalan jam delapan, cuma Mama ada tempat singgah jadi mau jalan sekarang aja."

"Ohhh gitu, btw Mama cantik banget ih, ini kalau Papa liat gak bakal dibiarin pergi sih sama Papa." Alana tersenyum menggoda, alisnya naik turun.

Rania menepuk pundak Alana pelan, salting. "Ih kamu apaan sih Na, Mama kan emang selalu cantik tiap hari, makanya Papa kamu tergila-gila sama Mama."

Alana sontak tertawa mendengar ucapan mamanya. Papa Alana memang tipe suami yang posesif, menurutnya istrinya hanya boleh tampil cantik paripurna didepannya saja. Dia tidak ikhlas harus berbagi keindahan istrinya dengan siapapun.

"Udahlah jangan diomongin terus Papamu, kasian nggak tenang nanti dia kerjanya." ujar Rania sambil menenteng tas bermereknya.

"Hahaha... Iya deh iya, oh iya Pak Hasan dimana sih ma? Kok nggak keliatan dari tadi?" Alana mengelilingkan matanya, mencari keberadaan salah satu anak buah ayahnya yang sekarang menjadi supir pribadi keluarganya itu.

"Pak Hasan disuruh nyusul Papamu tadi sore ke Bandung, disuruh bawain berkas yang ketinggalan."

"Oooh... Mama bawa mobil sendiri berarti?"

"Iyaa, yaudah yuk ke mobil." ajak yang dibalas anggukan semangat dari Alana.

Setelah mengecek keamanan rumah dan memastikan tidak ada yang tertinggal, Rania mengemudikan mobilnya menuju ke apartemen Dinda. Diperjalanan mereka berbincang membahas banyak hal, kebanyakan membahas tentang sekolah Alana. Perjalanan dari rumah Alana menuju apartemen Dinda tidak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit kalau tidak macet.

Mobil yang mereka kendarai akhirnya sampai didepan lobby apartemen. Setelah berpamitan pada mamanya Alana segera turun dari mobil.

Rania menurunkan kaca mobilnya, "Na kalau Mama jemputnya telat langsung minta antar sama Dinda ya? jangan pulang sendiri!" pesannya pada Alana sebelum pergi.

Alana mengangguk cepat. "Okie! Bye hati-hati Mah."

Setelah Mamanya meninggalkan area gedung apartemen, Alana baru masuk ke lobby apartemen dan langsung menuju lift. Alana buru-buru menekan tombol lift menuju lantai yang dituju karena pikirnya hanya dia sendiri yang akan naik. Saat pintu lift akan tertutup tiba-tiba saja Alana mendengar teriakan kecil dari luar diikuti dengan seorang laki-laki yang menyelip masuk sebelum pintu lift benar-benar tertutup.

Alana terkejut setengah mati, bukan karena laki-laki itu masuk secara tiba-tiba melainkan karena laki-laki itu adalah Bara. Alana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dari sekian banyak macam kebetulan, kenapa juga dalam situasi kebetulan seperti ini dia bertemu Bara.

Selama didalam lift Alana dan Bara tidak berbicara sama sekali, Bara yang bersandar di dinding lift dengan sebuah paper bag ditangannya hanya diam sembari menatap Alana sesekali. Sedangkan Alana sendiri berdiri disisi sebelahnya menghadap lurus kedepan tanpa menoleh sama sekali, hanya melirik dari sudut matanya. Mereka benar-benar tidak saling menegur, seperti orang yang tidak pernah saling kenal atau pernah saling bicara sebelumnya.

Beyond The Limit [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang