Si Penjual Sekoteng (3)

2.2K 135 0
                                    

Harapan.

Apa yang kalian pikirkan dari sebuah harapan?

Untukku, aku tak suka sebuah harapan.

Bagiku harapan hanyalah sebuah kata berisi 7 huruf , yang penuh dusta.
Kata itu bak sebuah narkoba, terus menerus menyamarkan realita yang ada, dengan kebahagiaan sementara.

Maka dari itu aku tak percaya pada harapan. Hanya membuang-buang energi saja.

Ingatlah, harapanmu yang terlalu besar akan menyakiti mu lebih dalam pula.

Daripada sibuk memikirkan harapan, lebih baik aku mencari cara agar segera menemukan pisauku. Satu-satunya orang yang bisa menolongku menemukan pisauku adalah pak Bari. Namun aku malah tidak berhasil menemui pak Bari siang tadi. Semua ini karena Rama yang terus berada dirumah sepanjang hari hingga malam tadi.

Untungnya, Rama tidak bermalam disini.
Namun percuma saja, di jam ini pak Bari sudah pulang ke rumahnya.

Pak Bari sebenarnya termasuk pekerja yang harus menetap disini, tetapi karena dia sudah berkeluarga dan rumahnyapun tak jauh dari sini, akhirnya dia mendapatkan pengecualian dari Rama.

Dengan syarat selalu datang jika Rama membutuhkan.

Sebenarnya aku berusaha menyiapkan rencana cadangan sejak siang tadi. Kucoba memeras otakku yang tak seberapa ini untuk mencari cara lain.

Salah satu rencana yang terlintas, adalah aku pergi sendiri menggunakan taksi. Namun aku tak yakin akan ada taksi yang lewat disekitar rumah. Kemungkinan, aku harus berjalan sedikit jauh kejalan utama untuk menemukan taksi.

Salahkan manusia yang membuat rumah disini, rumah ini jauh dari pemukiman masyarakat, tak ada akses kendaraan umum juga. Pekerja disinipun memiliki kendaraan masing-masing, entah difasilitasi oleh Rama, atau milik mereka pribadi.

Untuk melancarkan misi naik taksiku, kini aku sudah memakai jaket hitam yang biasa ku pakai saat keluar malam hari. Pakaian serba hitam, serta tas selempang yang kali ini kubawa untuk membawa sejumlah uang cash dan  kartu penuh uang pemberian Rama yang tentunya hampir tak pernah ku pakai.

Kurasa aku tak perlu membawa hal lain selain uang. Selama membawa uang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, meskipun aku pergi sendirian.

Sekarang ini kan apapun bisa beres jika ada uang. Mau naik taksi, naik gunung sampai naik jabatanpun bisa beres jika menggunakan uang.

Setelah memastikan semua yang kubutuhkan sudah siap, aku mulai mengendap-endap keluar kamar. Kulihat lorong telah sepi, lampu telah mati, semua pekerja sudah terlelap saat ini kecuali satpam tentunya.

Namun keberadaan satpam bukan masalah bagiku. Aku tidak akan melewati pintu depan yang dijaga satpam. Pintu keluarku dari rumah ini melewati tembok belakang dekat dengan bangunan tempat tinggal para pekerja. Di tempat itu, ada sebuah celah yang selama ini kugunakan untuk keluar masuk saat malam hari seperti ini.

Tak memakan waktu yang lama,  akhirnya aku berhasil keluar dari area rumah, semulus biasanya. Bedanya, kali ini tidak ada pak Bari yang menungguku di mobil ketika aku sudah keluar dari area rumah.

Tak masalah...

Walaupun aku tak pernah keluar sendirian, setidaknya otakku masih bisa diajak berfikir untuk masalah mendesak seperti ini.

Jalanan yang hampir tak pernah kulalui dengan berjalan kaki ini, nyatanya tidak sepenuhnya sepi. Masih ada satu dua orang yang berlalu lalang menaiki motor  disepanjang jalan.

Aku menyusuri trotoar dengan sedikit was-was, takut tiba-tiba Rama datang dan menyeretku kembali pulang.

Setelah berjalan 10 menit, akhirnya aku sampai dijalan utama yang dilewati oleh kendaraan umum. Nafasku sedikit ngos-ngosan. Untuk ukuran manusia yang kegiatannya hanya duduk dan berbaring saja, berjalan 10 menit adalah prestasi yang menakjubkan dan patut dibanggakan.

Jelita MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang