Apakah memiliki paras cantik merupakan suatu berkah?
Atau malah memicu musibah?
Menurutku, semua itu tergantung bagaimana manusianya sendiri memaknai suatu kejadian. Hal baik bisa menjadi buruk jika terjadi pada orang yang tidak pandai memaknai dan bersyukur, begitupun sebaliknya. Hal buruk bisa menjadi berkah bagi orang yang mampu menerimanya.
Seperti yang selalu kuamati didaerah hiburan malam yang sering kukunjungi. Manusia disana memanfaatkan keelokan tubuh dan paras apiknya sebagai ladang mencari rezeki selama ini.
Tak hanya menjual diri tentunya, penunggu warung kopi disanapun terlihat sangat merawat diri. Dengan baju seksi, wajah penuh riasan serta suara yang dibuat semenggoda mungkin, membuat para pelanggan tentu betah berlama- lama duduk diwarung mereka. Pelanggan akan terus-menerus memesan kopi, lalu tak sadar uang mereka habis tak bersisa.
Begitulah contoh bagaimana sebuah kecantikan mempengaruhi sebuah kehidupan.
Seperti diriku saat ini, aku memakai gaun dan berbagai aksesoris yang melekat pada tubuh ku. Gaun yang menjuntai kebawah membuat tubuhku terlihat tinggi semampai, warna merahnya menonjolkan warna kulitku yang cukup pucat.
Jika saja cantika tak memberikan sentuhan krim-krim pada kulitku, aku yakin orang yang berpapasan denganku nanti mengira aku bagian dari keluarga Edward Cullen.
Cantika dan ketiga temannya mulai membereskan kekacauan yang terjadi dalam kamarku. Mereka pun mungkin ingin segera keluar dari rumah ini.
Tentu saja, siapa yang betah di tempat mencekam ini? Harusnya rumah ini menjadi tempat untuk acara uji nyali.
Mungkin yang bertahan hanya aku dan Rama saja.
Aku bahkan tak pernah melihat pekerja disini tertawa. Mereka bekerja seperti robot, kaku dan dingin. Namun itu yang malah kusuka, meraka tak nampak hidup.
"Ta gue pulang dulu ya? entar gue bilang sama Rama kalo lo udah siap."
"Iya kak, hati-hati, dan makasih ya."
Kalimat yang kuucap ketika Cantika pergi selalu sama. Aku tak berniat menambah atau mengurangi kalimatku itu. Sudah paten dan tak bisa diganggu gugat.
Setelah Cantika dan kedua temannya tak terlihat. Aku memutuskan untuk duduk disisi ranjang menghadap kejendala kamar yang mengarah keluar, sembari menunggu Rama.
Melihat kembali pemandangan yang sama setiap hari.
Anehnya, meski aku tak suka dengan taman aneh buatan Rama, pemandangan taman disana tak pernah membuatku merasa bosan.
Membuatku merasa lebih tenang.
Derit pintu kamar yang terbuka membuatku memutuskan pandangan dari jendela, kearah pintu. Muncul Rama yang sudah terlihat siap dengan setelan jas hitamnya, rambutnya pun dirapikan dengan mode parlente. Aroma parfum Rama yang tak pernah berubah menyeruak masuk kedalam hidungku.
Penampilan Rama saat ini membuatku mulai membandingkannya dengan penampilan Aji. Kusadari kini tubuh keduanya memiliki postur serupa, namun penampilan mereka sangat berbeda.
Dua kali bertemu dengan Aji telah membuatku memperhatikan penampilan pedagang sekoteng tampan itu.
Aji hanya akan memakai kaos biasa yang warna dan gambarnya terlihat sudah memudar karena seringnya dicuci dan terkena terpaan panas matahari. Celana jeans hitam Ajipun tak kalah lusuhnya, namun sangat pas membungkus kedua kaki jangkung Aji.
Aku jadi tak sabar untuk kembali menemui Aji malam Sabtu dan minggu nanti.
"Jelita! Aku gak mau terlambat cuma karna nungguin kamu ngelamun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelita Malam
RomanceWajahnya dia majukan lebih dekat denganku. Dari jarak ini dapat kulihat dengan jelas wajah laki-laki didepanku ini, satu hal membuatku tertarik adalah bekas luka dipelipisnya yang sudah agak memudar. "Jelita, Sekali lagi gue tanya, Lo disuruh sama...