"Diajak ngobrol anaknya. Jangan diem aja."
"Jangan pasang muka sok cool. Nggak cocok sama kamu. Fina jangan dicuekin. Awas aja ya kamu!"
Sekiranya itu pesan-pesan yang disampaikan oleh Radit dan Wulan pada malam sebelumnya. Dan pagi ini sebelum Marion melangkahkan kaki keluar rumah, ia kembali diingatkan dengan kata-kata yang sama. Jauh dari kata serius, mereka mengatakan kata-kata dengan seringai penuh misterius, dan Marion merasa jengkel karena ia tahu arti senyum itu.
Sembari mengantarkannya sampai ambang pintu, Radit dan Wulan terus memperhatikan laki-laki itu masuk ke dalam mobil minibus di mana Luna sudah tidak sabar menanti dirinya. Pasangan itu tersenyum lebar yang entah kepada siapa senyuman itu ditujukan; untuk gadis kecil yang berteriak seraya melambaikan tangan, atau Marion yang terus menatap pasangan itu dengan muka kusut.
Sepanjang perjalanan Luna tidak ada henti-hentinya berceloteh. Menceritakan betapa antusias dirinya. Ia tidak sabar melihat beraneka ragam hewan laut. Marion sampai terheran-heran; bagaimana bisa Luna yang ketika sarapan tadi mengatakan jika ia tidak bisa tidur semalam, tapi masih bisa bangun pagi buta dan punya energi sebesar ini?
Sebagai pengingat kalau hari ini ia, Luna serta Fina akan pergi menuju wisata edukasi bahari yang letaknya berada di bagian utara Ibu kota. Iya, bersama Fina sebab perempuan itu yang mengajak mereka. Dan sebagai balasan, Marion memberinya tumpangan.
Seandai saja agenda jalan-jalan kali ini tidak mengikutsertakan Fina, tentu Marion akan sama antusiasnya dengan Luna.
Tidak, Marion tidak membenci Fina sama sekali. Pun mengenal baik sosok yang merupakan teman baik mendiang isterinya, Anita. Menurutnya ─dan siapapun yang mengenal Sarafina Adelia, dari segi manapun, ia tidak layak untuk dibenci.
Marion mengenal perempuan itu karna Anita. Sepuluh tahun yang lalu lebih tepatnya. Di waktu sore hari, Marion akan mendapati Fina tengah duduk santai di teras indekos di mana ia dan Anita tinggal. Di atas kursi rotan, ditekuk kedua kakinya sembari memangku laptop. Fina yang sangat fokus kala itu menghentikan kegiatannya lalu mendongakkan kepala ketika presensi Marion berjalan mendekat ke arahnya.
"Halo, Mas Rion. Cari Anita ya? Anaknya masih di atas tuh. Ditunggu dulu aja," Seulas senyum hangat diagihkan. Ia pun menepuk-nepuk pegangan kursi disampingnya yang dipisahkan oleh meja bundar.
Ada rasa segan karna Marion hanya tahu Fina melalui cerita yang Anita katakan kepadanya. Saat bertandang pun, ia jarang mengajak Fina berbicara walaupun sekedar obrolan basa-basi sembari menunggu Anita muncul dari balik pintu. Marion sering memilih duduk di bangku kayu yang letaknya sedikit jauh dari Fina. Sengaja mengambil jarak dengan perempuan itu.
"Diajak ngobrol, Yang." Marion yang hendak menyuapkan sebuah bakso menghentikan sendoknya di depan mulut. Dua alisnya bertaut dan ia memberikan tatapan seolah bertanya, maksud kamu apa?
"Itu loh si Fina. Jangan didiamin. Padahal kamu tuh lancar kalau ngobrol sama teman-teman aku yang lain─"
"But all of them are men, Anita," sela Marion. "Toh, setiap kali aku datang, Fina lagi konsen sama laptopnya. Mana enak aku ganggu. Kamu juga tahu sendiri aku orangnya nggak pinter basa basi."
Anita terkekeh mendengarnya. Anita mengakui kalau kekasihnya itu sengaja membatasi interaksi dengan teman-teman perempuan. Jika bukan mereka yang terlebih dulu mengajaknya bicara, maka Marion akan bersikap seakan-akan mereka adalah orang asing yang tidak saling mengenal ─yaa, walaupun Marion sekedar tahu nama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
heart plus 2 [ jinrene ]
FanfictionArumi secara kebetulan bertemu Marion, laki-laki yang menyelamatkan dirinya dari incaran lelaki hidung belang. Bermula semakin sering pertemuan yang terjadi secara "tidak terduga" itu lah, Arumi dan Marion mulai bertukar kontak jika ingin bertemu. T...