01.

92 15 2
                                    

Marion terbangun dengan pipi kirinya berkedut nyeri. Warna merah sedikit keunguan samar terlihat di kulit wajahnya yang bersih. Badan sih boleh ramping, tapi nggak kebayang kekuatan dia bakal segede itu, batin Marion, tatap buah hasil tamparan semalam.

Marion benar-benar tidak menduga telapak tangan perempuan itu akan terayun cepat lalu mendarat keras setelah ia berucap kalau malam itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka.

Marion terbiasa dengan gurat kekecewaan alih-alih raut wajah merah padam, menggambarkan sebuah amarah saat secara sepihak ia memutuskan untuk menyudahi  entahlah tapi mereka─beberapa perempuan yang Marion temui─ menyebutnya sebagai kencan.

"Aku cuman telat satu jam!? Kamu tau 'kan kerjaan aku gimana? Belum lagi jalanan yang macet. Aku bahkan udah nyediain waktu ditengah kesibukan aku loh, Yon." Suaranya menggebu seiring alisnya yang saling bertaut, ia memprotes sebab yang seharusnya ia habiskan malam bersama Marion, justru dibatalkan.

Marion memijit pangkal hidung lalu hela napas jengah. "Tujuh puluh lima menit, Sa. Kamu terlambat tujuh puluh menit dan ini bukan pertama kalinya kamu nggak on-time datangnya."

"Yaa, I expected you to understand?!" cibirnya dengan raut wajah geram. Oh, sebagai sebuah catatan, Elsa, nama teman kencan Marion yang kesekian ini adalah yang paling buruk─ dia selalu buat Marion menunggu lama dan alasan yang Marion dapat selalu sama; jadwal kesibukannya yang kian padat. Sedikit informasi tentang kencannya atau Elsa ini, ia adalah seorang model, karirnya tengah meroket dan kini mulai merambat dunia seni peran.

Well, kalau Marion boleh kasih penilaian, secara penampilan baik wajah, proposi tubuhnya yang tinggi dan juga kecil di beberapa bagian, juga sifatnya yang tergolong easy going, tentu saja Elsa terlihat lebih menonjol di antara teman kencannya yang lain.

Tapi sikapnya yang seolah menuntut Marion untuk memahami, memaklumi akan keterlambatannya yang berulang terjadi, membuat laki-laki itu tak tahan untuk berlama-lama menjalani masa penjajakan yang sedari awal memang tidak Marion kehendaki sama sekali.

Iya, semua kencan yang Marion lakukan itu sudah diatur. Atas dasar "menghargai" usaha mereka, dan tidak ingin mengecewakan yang lebih tua, Marion berat hati menerima tawaran tersebut.

***

"Please, dicoba dulu ya, Yon..."

Rasanya perut Marion akan kembung dan detik berikutnya diikuti dengan gejala mual. Telinganya pengang. Rengekan frustasi itu bagaikan permen karet yang menempel di sepatu, begitu melekat dalam otaknya. Kemana Marion pergi, suara lirih yang datangnya dari Kakak Ipar akan selalu mengikutinya.

Tidak ada kata jera dalam kamus Wulan, Kakak Ipar Marion. Untuk satu alasan, perempuan itu selalu mendorong Marion untuk melakukan yang menurutnya adalah sesuatu hal yang sia-sia. Mencoba. To take a chance.

Dan jawaban Marion akan selalu sama. Tidak. Tapi balik lagi, Wulan tidak akan pernah berhenti untuk membujuk. Berbagai ragam alasan diutarakan agar hati Marion mau sedikit melunak, merobohkan secara perlahan dinding yang tak kasat mata yang sudah dibangunnya sedemikian rupa. Menutup rapat-rapat agar tidak ada celah untuk masuk meski itu lubang terkecil.

"Kayaknya semalam gue nggak ada lihat mobil lo di halaman deh, Yon. Lo semalam nggak pulang?" Tangan Marion yang hendak menyambar roti pun terhenti. Matanya melirik ke yang lebih tua, yang tengah berkutat dengan koran, ditemani kopi hitam yang nampak belum disentuhnya.

heart plus 2 [ jinrene ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang