04.

80 15 3
                                    

Sesampainya di rumah, Marion segera membasuh badan dan mengganti pakaian bersih. Ia melangkah menuju ruang tengah sambil menenteng sebuah laptop. Di sana, ia melihat Luna tengah asyik mengunyah martabak yang ia beli dalam perjalanan pulang sembari menonton acara kartun kesukaannya.

Marion mendaratkan bokong ke sofa dan duduk tepat di samping yang Luna yang tidak berkedip menatap layar televisi. Marion coba membaca situasi, matanya bergerak melirik Luna dan makanan yang ada diatas meja secara bergantian. Tergoda imannya untuk menyomot satu, tangannya bergerak pelan hendak mengambil martabak namun ternyata kalah cepat dengan gerak tangan Luna. Dengan cekatan gadis kecil itu memindah bungkus martabak, diletakkan di samping kiri agar jauh dari jangkauan Papa nya sambil menggeser bokong guna memperlebar jarak keduanya.

"Papa minta satu aja, Lun." pinta Marion dengan rengekan kecil dan lengkungan bibir ke bawah. Bola matanya membulat, Marion melakukan persis seperti apa yang biasa anak perempuannya itu lakukan ketika memohon agar dibelikan mainan atau boneka yang ia inginkan.

Luna menatap sinis sang Papa, "No! Ini punya aku. SEMUA!" ucap Luna final. Tatapannya tajam, sangat kontras dengan bibir mungilnya yang penuh coklat lumer yang membuat dirinya terlihat menggemaskan.

Sebuah senyuman terulas di wajah Marion. Hatinya menghangat, sorot matanya berubah sendu. Ada perasaan rindu yang menyeruak namun Marion coba untuk tutup rapat-rapat.

Marion menarik selembar tissue dari dalam kotak yang ditaruh di atas meja samping sofa yang ia duduki lalu menghapus sisa coklat yang mengotori bibir Luna.

"Kamu nonton tv mulu. Memangnya sudah belajar?" Marion sudah mengalihkan perhatiannya pada laptop yang ada dipangkuan. Ada beberapa pekerjaan yang perlu ia periksa sebelum kembali ke kamar dan beristirahat.

Luna mendengus, "Di sekolah aku sudah banyak belajar, Pa. Nanti kepala aku bisa mengeluarkan berasap," ujarnya mendramatisir. Lalu gadis itu menggeser kembali bokongnya, mendekat ke arah Marion. Ia menepuk bahu Marion dengan salah satu tangan yang bersih dari lumeran coklat, "Papa tenang saja. Anak papa ini sudah pintar kok." Luna mengatakannya dengan dagu sedikit terangkat, menampakkan wajah jumawa juga senyuman lebar yang membuat Marion menggeleng kepala dan membiarkan gadis kecil itu kembali melanjutkan kegiatan menontonnya.

Marion terdiam, senyum yang sempat hiasi wajah perlahan luntur kala sorot mata menatap kosong layar laptop yang sudah menyala beberapa menit lalu. Tepatnya pada sebuah foto yang ia pasang sebagai wallpaper home.

Foto itu adalah hasil jepretan yang diambil di studio foto tujuh tahun silam. Potret dua orang dewasa tengah duduk bersisian, salah satunya tengah memangku bayi perempuan cantik. Sementara laki-laki disebelahnya menaruh tangannya di bahu sang perempuan, mendekap begitu erat dan posesif. Seakan memberitahu kepada seluruh orang bahwa perempuan itu adalah miliknya.

Raut wajah pasangan itu memancarkan aura kebahagiaan ─sangat bahagia─ meski bayi perempuan mereka tengah menangis kencang sebab ia merasa tidak nyaman dengan kilatan cahaya kamera yang membidiknya.

Lagi-lagi Marion tersenyum. Namun senyuman itu penuh akan duka. Dadanya terasa sesak jika mengingat peristiwa empat tahun lalu, di mana Semesta begitu kejam karna merenggut sosok perempuan yang sangat ia cintai. Ibu dari puteri kecilnya, Anita Saraswati.

Marion ingat malam nahas itu hujan sedang turun sangat deras dan ia masih terjebak dengan pekerjaannya saat tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor asing muncul di layar membuat dahi Marion mengernyit. Marion abaikan panggilan tersebut namun sepertinya si penelefon tidak lelah berusaha untuk terus menghubunginya.

Hingga pada panggilan ke lima, Marion pun memilih mengalah dan mengangkat panggilan yang entah dari siapa. Kalau ini sales yang nawarin barang atau panggilan tidak penting lainnya, Marion bersumpah akan menghujani orang tersebut dengan cacian.

heart plus 2 [ jinrene ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang