Ziva mendorong keras punggung Jia, hingga gadis itu mengaduh kesakitan hingga meringis.
"Ayah begitu gara gara lo tau gak?"
"Kenapa sih lo hidup?"
"Kalo hidup aku kayak gini, mending gak usah hidup Zi" Jia menyentak Ziva, adiknya. Sudah lelah dengan drama dan ruang lingkup di sekitarnya.
Boleh gak sih dirinya beristirahat barang sejenak, Jia seperti orang gila. Semuanya capek, selalu apapun itu salahnya walaupun dirinya tidak melakukan hal apa yang di lakukan nya.
"Ayah kena copd stadium lanjut"
Jia melonggok, melihat Ziva yang menatapnya dengan pikiran kosong tanpa melihat kerutan kebingungannya. "Maksud nya?"
"Ayah kena asma?" Jia mengguncang tubuh Ziva, karena anak itu tidak memberi keterangan secara berkala.
"Bukan asma, ayah terlalu sering merokok, paru parunya iritasi. Penyakitnya udah termasuk yang mematikan"
"Lo mau jadi anak yang berbakti 'kan?"
"Biar ayah seneng?" Ziva berujar membuat Jia terpana, gadis itu bingung dengan maksud Ziva.
"Ayah butuh transplantasi paru paru, hanya satu. Biar ayah tetap hidup"
"Mau ya? Lo gak akan ngebiarin gue jadi anak yatim 'kan? Anak gak ada bapak itu gak enak Ji"
"Kenapa harus aku?"
"Karena gak ada donor paru, susah!"
"LO HARUS MAU DEMI AYAH!"
"CUMA SATU, GAK AKAN MATI JI"
Jia ikut menenangkan Ziva yang menangis sesenggukan dan membuat hatinya tercelos sakit, bagaimana tidak? Ayahnya sakit separah itu? Namun ada rasa kecewa juga dan senang, senang karena bisa menjadi anak yang di andalkan, namun kecewa karena mereka menginginkan dirinya lebih.
"LO HARUS KASIH SATU PARU PARU LO"
"YA, HARUS"
Secara nalurinya Jia langsung mengangguk setuju, walau sedikit hancur hatinya. Gadis itu tersenyum, setidaknya dirinya bisa membalas budi apa yang ayahnya berikan padanya. Walaupun tidak seperti ayah pada umumnya.
"A... aku boleh jenguk ayah?"
Ziva mengangguk tanpa beban, biasanya gadis itu sangat emosional dan tidak ingin melihatnya. Namun sekarang berbanding terbalik.
"Boleh"
"Operasi transplantasi kata Mama minggu depan"
••
Re memejamkan matanya rapat-rapat, pikiran dejavu itu kembali lagi, ia waktu duku sampai sekarang pun selalu membuat masalah terus dan terus. Bersama Red dan dirinya.
"Emilio"
"Gue baru inget kata Kayden, cowok bernama Emilio itu anak polisi"
"Pernah ada problem, dan..."
Re yang masih terpejam menggigit bibir bawahnya secara gusar, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan tangan kursi yang ia duduki.
Angin berembus pelan mengusap pipinya dan rambutnya, deruan pelan kendaraan serta lampu lampu kekuningan menghiasi langit di Jakarta.
"Gue hampir bunuh temennya" final, pikirannya sudah kembali. Terlalu senang dengan kehidupan liat di California membuatnya lupa apa yang membuatnya kabur ke California.
"Sial"
Re mengusap rambutnya frustasi dan wajahnya yang masam, apakah problem seperti itu selalu menggentayangi dirinya terus menerus?
KAMU SEDANG MEMBACA
RED FLAG [TAMAT]
Teen FictionSEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE, DIMOHON FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA [THE BENEDICT #1] Bagi Red; apapun miliknya berarti miliknya juga, entah mental maupun fisiknya semuanya ada dalam genggamannya dan itu mutlak. "Your body language make a depressed" Ra...