BAB 2 [Bukan Manusia]

1.4K 215 71
                                    

Sunyi adalah kata sempurna yang menggambarkan suasana kediaman Duke Lohan ketika Rose menginjakan kaki disana. Hari ini tidak hujan, tapi malam masih sedingin kemarin. Orang-orang yang ada dikediaman ini mungkin sedang bersembunyi dibalik selimut tebal. Mencari kehangatan.

Rose melangkah masuk kedalam. Sebuah lorong gelap menyambutnya. Tidak ada obor yang biasa menerangi jalan. Menyisakan cahaya bulan yang mengintip dari balik jendela kecil diujung ruangan.

Rose terus melangkah. Melewati pintu-pintu yang tertutup rapat. Ia tidak ingin membukanya, jadi dia terus melangkah lalu berhenti tepat didepan lukisan besar. Rose menatapnya.

Dorongan tak kasat mata menggoda Rose untuk mengulurkan tangan, mendekat untuk menyentuh lukisan itu. Tubuhnya seperti bergerak sendiri. Tanpa sebab dadanya berdesir penuh kekaguman akan sosok wanita yang terlukis dengan indah.

Kagum itu masih meliputi hatinya, namun Rose dengan cepat menarik pedang, berbalik badan dan menangkis serangan yang datang dari belakang.

Rose mengambil jarak. Matanya menatap waspada sosok pria tinggi didepannya. Gelapnya malam menghalanginya untuk melihat rupa dari pria tersebut.

Sekali lagi Rose menghindar. Dia berputar, mengubah posisi hingga kini cahaya bulan yang masuk melalui jendela kecil dapat menerangi wajah sang lawan.

Duke Lohan, Rose bergumam didalam hati. Pria didepannya adalah target yang harus ia bunuh malam ini.

Kali ini Rose yang menyerang. Dia mengayunkan pedang, mengincar titik-titik vital. Cukup mengagumkan bagaimana pria didepannya menghindar dengan mudah. Dia bergerak secepat angin, membalas setiap serangan dengan bobot mematikan. Rose kewalahan.

"Lumayan." Pria itu menyeringai puas, menatap Rose dengan mata berkilat. Penuh rasa tertarik saat Rose kembali maju menyerang.

Kali ini Lohan kecolongan. Rose berhasil melukai lengan atasnya. Berbalik dan langsung mengayunkan pedang, menebas punggung lebar Lohan.

Pria itu terhuyung. Bertumpu pada tembok saat rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya.

Rose mengeryit. Dia tidak mungkin salah lihat. Jelas pria didepannya tersenyum senang ketika merobek baju yang ia gunakan lalu membuangnya begitu saja.

Lohan kembali berdiri tegak. Darah yang memenuhi tubuh kekarnya tidak membuat pria itu kesulitan ketika melesat menyerang Rose dengan membabi buta.

Bola mata segelap langit malam itu bergetar antusias. Sangat tidak sabar untuk menantikan luka yang lainnya.

Lohan tertawa. Membuat lawannya menatapnya dengan aneh. Sudah lama sekali Lohan tidak bersenang-senang seperti ini. Dia terus maju menyerang, kadang menghindar ketika pedang sang lawan hampir menyayat lehernya.

Satu tendangan keras menghantam perut Rose. Dia terdorong kebelakang hingga menghantam lukisan besar yang sebelumnya dia kagumi. Tidak ada waktu untuk meringis kesakitan karena Rose segera berguling menghindari serangan berikutnya.

Dalam gelap itu mereka saling menyerang satu sama lain. Bergerak kesana-kemari ditemani oleh harmoni yang dihasilkan dari gesekan dua pedang.

Rose menjejalkan kakinya pada tembok. Mengayunkan pedangnya, mengincar leher sang lawan. Lohan tentu tidak akan tinggal diam. Dia menghindar dan itu justru membuat semuanya menjadi lebih mudah.

Diatas udara Rose berputar, mendarat dibelakang Lohan dan tanpa membiarkan pria itu berbalik badan, Rose sudah terlebih dulu mengunuskan pedangnya, menusuk jantung Lohan dari belakang.

Lohan tersedak, oleh darah yang keluar dari mulutnya. Diujung kematian itu dia terkekeh. Memutar pedang yang ada ditangannya untuk menusuk Rose yang langsung menghindar.

POISON ROSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang