BAB 6 (Peliharaan Duke Lohan)

2.1K 224 21
                                    

Akhir-akhir ini kesabaran Lohan terus diuji. Ketidakhadiran Rose dalam kelas etiket selama enam hari berturut-turut membuat Lohan uring-uringan. Sepertinya perempuan itu salah mengartikan ucapan Lohan. Yang dia maksud adalah Rose harus mengikuti kelas etiket selama satu bulan penuh dan bukan hanya sekali pertemuan.

Lohan mengetuk pinggiran kursi dengan jari telunjuknya. Pria itu memutar kursi, menghadap kearah jendela besar dibelakang meja kerja. Hari ini salju kembali menutupi halaman mansion.

"Menurutmu kucingku sedang apa?" tanya Lohan kepada Austin yang semula sibuk memilah dokumen. Ajudannya itu sontak menegakkan punggung sebelum menjawab pertanyaan sang tuan.

"Nona mungkin sedang ada urusan lain."

"Urusan apa yang lebih penting dariku?"

Sejujurnya, mungkin bagi Nona, Anda itu tidak penting, Yang Mulia. Austin menggigit bibirnya keras-keras menahan senyum. Bisa gawat kalau Lohan sadar jika sejak tadi dirinya sedang dihina.

Tak!

Lohan melempar pena kearah jendela hingga membuat benda itu jatuh menggelinding dilantai. Tubuh tingginya menjulang saat ia beranjak berdiri.

"Aku mau keluar." Lohan meraih mantel.

"Pekerjaan Anda—"

"Kau saja yang kerjakan," ucap Lohan seenak hati memberi perintah.

Austin hanya bisa menatap Lohan dengan mata memelas ketika pria itu benar-benar keluar dari dalam ruang kerja. Padahal dokumen diatas meja sudah menjulang tinggi, tapi Sang Duke justru pergi meninggalkan Austin dengan setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan.

Austin menghela nafas dan dengan lesu melangkah kearah meja kerja. "Jika terus seperti ini aku tidak yakin bisa hidup sampai 50 tahun lagi."

.

.

Tingginya tumpukan salju menghambat kecepatan kuda yang Lohan naiki. Dia tidak bisa berlari menerobos salju tebal yang menutupi jalanan dan harus ekstra berhati-hati agar tidak tergelincir.

Kuda gagah berwarna coklat itu akhirnya berhenti tepat didepan sebuah restoran. Saat Lohan melompat turun dari atas kuda, segerombolan pria besar berpakaian lusuh masuk kedalam restoran itu. Setelah memastikan tali kudanya terikat dengan benar, Lohan memutuskan untuk melangkah memasuki restoran didepannya.

Aroma daging dan alkohol memenuhi indra penciuman Lohan ketika ia melewati pintu. Seorang pria berpakaian wanita tampak sibuk mengantarkan makanan ke setiap meja yang hampir seluruhnya terisi.

Lohan mengedarkan pandangan mencari meja yang bisa ia duduki.

"Kau bisa duduk dimeja yang ada sana!" pria berpakaian wanita itu tiba-tiba saja berseru pada Lohan seraya menunjuk meja kosong diujung ruangan.

Lohan menarik tudung jubahnya agar orang-orang disana tidak melihat wajahnya. Dengan langkah tegap dia berjalan kearah meja yang ditunjuk oleh sang pemilik restoran.

"Hei, Welly! Kemana Rose? Akhir-akhir ini aku tidak melihat batang hidungnya." Seorang pria dengan luka sayatan dipipi kirinya berteriak kepada Welly.

Welly yang sedang memindahkan gelas-gelas besar dari atas nampan langsung menjawab tanpa mau repot-repot menoleh.

"Dia pergi ke kerajaan seberang. Seseorang memintanya menjadi prajurit bayaran."

"Kasihan sekali nasib kerajaan itu. Mereka pasti habis dibantai oleh Rose." Pria itu lalu menenggak minumannya dan lanjut membicarakan yang lain. Topik tentang Rose terlupakan dengan cepat.

POISON ROSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang